Sepenggal Kisah dari Timur: Obale si Anak Suku
![]() |
Pic from Pinterest |
Saya menulis ini dengan hati pilu dan seperti ada bongkahan batu di dada saya, yang membuat saya susah bernafas.
Hari ini saya akan bercerita tentang seorang perempuan tangguh dari Timur Indonesia, seorang perempuan yang masa depannya direnggut paksa dari genggaman tangannya, seorang perempuan yang tidak pernah saya temui, tapi mampu memenuhi pikiran saya sepanjang hari.
Kalau kamu gais pernah membaca tulisan saya tentang Alexandria Ocasio Cortez, di sana saya pernah cerita bahwa saya suka sekali dengan sebuah akun yang bernama “Merawat Papua” saya benar-benar membaca semua cerita di postingan itu.
Jadi, meski tidak pernah bertemu, tapi saya seolah dekat dengan mereka, thanks to Paguru, melalui caption singkat itu dia bisa mengenalkan saya pada Alm.Jek, semoga kau tenang di sana Jek, Paskalis, Garvas, Aseng, Regina, Maria, Warfen, si tomboy Ofa yang tidak mau pakai rok, Bur, Kayya dan banyak anak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu-satu.
Membaca cerita di sana selalu membuat perasaan saya menghangat atau sekedar tersenyum sambil menghapus ingus atau benar-benar menangis sedih. Ahh…sudah lah, saya tidak sanggup berkata-kata jika bicara tentang mereka.
Kali ini saya tidak tahan untuk menulis tentang Obale, perempuan tangguh yang di pecundangi nasib dan negara sendiri. Ya Allah saya sedih. Obale adalah salah satu murid di sana. Kata Paguru anaknya rajin dan jarang bolos.
Suatu hari, Obale izin pulang dengan meminta dua buku tulis, katanya dia ingin belajar di rumah, namun selang beberapa hari Obale tidak pernah kembali lagi, setelahnya beredar gossip kalau si Obale balik ke dusun karena diperkosa pace di sana saat mabuk.
Saya tidak heran dengan budaya mabuk orang Timur, karena selain tahu dari Paguru saya sering mendengar Abdur Arsyad seorang komika dari Larantuka yang mengangkat keresahannya ini saat stand up, “Pakai baju nanti saja, yang penting minum tuak dulu” hal ini lumayan sering ia angkat sebagai materi ketika stand up di atas panggung.
Tidak, saya tidak akan membahas budaya minum tuak di sini, saya mau berbicara tentang kebencian saya terhadap budaya menikahkan korban dengan pemerkosanya, ya Allah hati saya pilu membayangkannya. Obale yang belum masuk SMA menikah dengan pace pemerkosanya dan dia dijadikan isteri ketiga. Dan sungguh ini bukan kasus pertama, sudah entah berapa puluh Obale di luar sana yang juga mengalami hal serupa, sungguh sebagai perempuan hati saya selalu teriris menyaksikan hal-hal seperti ini.
Sebaik apa kita sampai berbuat kejam seperti ini dianggap sebuah pemakluman? Manusia bajingan siapa yang pertama kali mencarikan solusi menjijikan macam ini? Oh, saya paham sih kenapa budaya ini melekat erat pada masyarakatnya sekarang, karena setelah di pikir-pikir lagi negaranya saja tidak peduli, pura-pura tidak tahu, suka ngeles ini, itu, alasannya suka berubah-ubah kayak abege labil yang ketahuan selingkuh.
Meski sepenuh hati saya berdoa supaya Obale baik-baik saja dan bisa bahagia nantinya, namun sisi lain dari diri saya selalu berteriak bagian mana yang baik-baik saja dari menjadi korban pemerkosaan, menikah dini dengan pemerkosa yang sudah mempunyai dua isteri, dan tidak tamat belajar baca tulis? Apanya yang akan baik-baik saja?
Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan hanyalah menulis ini, memberi tahu pada orang-orang di luar sana, bahwa ada sisi kelam dari negeri ini yang tidak diketahui banyak orang, saya sangat sadar bahwa merubah ini semua tidaklah mudah, di Asmat sendiri sudah berapa puluh anak-anak menikah dini dan mirisnya rata-rata dari mereka masih buta huruf.
Eh, tahu tidak kalau kios-kios penjual makanan di sana seriiiing banget ngibulin para pace dan mace dengan menjual bahan makanan yang sudah kadaluarsa atau dengan mengurangi timbangan beras mereka dan tidak ada yang protes, bagaimana mau protes kalau mereka tidak tahu sekilo itu berapa, bagaimana mau protes kalau mereka saja buta aksara.
Tapi sshtt….tolong jangan bilang siapa-siapa ya, karena Paguru su pesan sa supaya tra kasih tahu orang lain, karena malas ribut-ribut dengan penjaga kios tersebut, karena Paguru pernah dimarahi tukang kios di sana “Tidak usah ajar-ajar dorang. Dong selama ini buta huruf, tra tau baca, tra tau berhitung, apalagi timbang menimbang, ko diam saja”.
Sebenarnya setelah insiden keji yang menimpa Obale, dia sempat ingin balik lagi ke rumah belajar, tapi tidak jadi, karena dia malu. Saya paham, karena perasaan macam ini sering menimpa korban, merasa malu, hina, banyak lagi.
Saya tidak tahu berapa kali saya sudah menghela nafas ketika menulis ini, sungguh saya speechless, tapi otak saya tidak mau diam begitu saja, saya harus menuliskannya, sekedar informasi saja bahwa anak-anak perempuan di Asmat lumrahnya menikah di usia 10-15 tahun dan masih buta huruf.
Data ini valid dikutip dari Komnas HAM Perempuan dan KPAI dan biasaya mereka yang menikah di usia 10 tahun akan mempunyai anak 5 ketika berusia 16, dengan kata lain mereka mempunyai anak setiap tahun dan saya tidak pernah tahu apa langkah pemerintah menanggapi hal ini.
Hari ini Obale yang harus putus sekolah tahun-tahun lalu ada Maria yang masih berusia 16 tahun, dan masih ada beberapa anak lagi yang saya lupa nama mereka, bahkan ada yang bunuh diri karena menolak menikah dini. Belum lagi masalah buta huruf, pada tahun 2020 Kemendikbud melaporkan 21,9% masyarakat di Papua adalah buta aksara, karena masalah ini tak banyak masyarakat di sana yang ditipu tukang kios, kepala kampung, bahkan pemerintah mereka sendiri.
Ada cerita yang menyayat hati tentang Aseng, saudaranya Garvas. Anak ini tidak mau belajar baca tulis dengan dalih, tukang angkat barang di pelabuhan tidak perlu bisa baca tulis. Suatu hari dia dengan semangat mendatangi Paguru dan minta diajarkan membaca, ketika ditanya kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran dia menjawab ingin menjadi kepala kampung.
Namun, selang beberapa hari setelah itu, dia sudah malas-malasan lagi ketika ditanya kenapa malas lagi dia menjawab “Sa tra mau lagi jadi kepala kampung, dong suka tipu masyarakat” membaca kisah ini saya bingung harus tertawa atau sedih.
Saya tidak tahu sudah sejauh mana usaha pemerintah mencegah hal ini, karena setahu saya dulu sempat ada program dari Kemendikbud untuk memberantas masalah ini, semoga saja dananya tidak dikorupsi dan masalah pendidikan ini, saya juga pernah dengar Mamat Alkatiri komika dari Fak-fak yang kurang setuju dengan pembangunan jalan tol di trans Papua, saya lupa di acara apa, tapi dia pernah berteriak “Kami tidak butuh jalan tol, kirimkan saja guru-guru ke Papua”.
Kedepannya saya berharap tidak ada lagi Obale selanjutnya di Asmat, walau saya sangsi. Semoga makin baik pendidikan dan fasilitas kesehatan di negeri ini, semoga tidak ada lagi kesenjangan hak antara sesama warga negara, dan yang paling penting tidak ada lagi pemerkosaan dan pernikahan dini di pedalaman Indonesia.
Sebagai penutup saya akan menceritakan ulang tulisan Paguru di hari kemerdekaan beberapa tahun lalu, bahwa salah satu anak datang kehadapannya dengan membawa replika bendera merah putih dan berkata “Paguru, selamat! Merdeka”.
Tahu tidak bahwa dia murni mengatakan itu untuk Paguru, karena dia beranggapan Papua dan Indonesia beda negara, “Yang sa bilang selamat merdeka itu ko, sa tidak, karena sa orang Papua” begitu jauhnya pengetahuan anak Papua tentang Indonesia, sebenarnya yang dia bilang tidak salah sih karena hey! “YANG MERDEKA ITU KO, SA TIDAK”.
4 comments