Me Before You: Eutanasia dan Organisasi Bunuh Diri Berbantu di Swiss
Mungkin bagi penggemar berat Sam Claflin dan Emilia Clarke film drama romantis ini sudah tidak asing lagi bagi kamu, karena jujur, selain ingin mendengar british accent-nya salah satu alasan saya menonton film ini adalah Sam Claflin karena bukan penggemar Emilia Clarke, hehehe *ditampol fans Emilia.
Sebelumnya maaf banget gais, karena saya nulis ini bukan untuk review, tapi karena pengen nulis aja. Lagian saya nonton film-nya sudah dari kapan tahu, jadi menuliskan alurnya seadanya saja. So, jadi jangan berharap lebih sama postingan ini, karena saya nggak tahu apakah bisa menggambarkan atau tidak.
Me Before You ini, rilis pada tahun 2016 lalu, yang disutradarai oleh Thea Sharrock dan diproduseri oleh Karen Rosenfelt dan Alison Owen dengan lama durasi 110 menit. Film ini diangkat dari novel dengan judul yang sama karangan Jojo Moyes. Saran saya, kalau mau nonton film ini, baca dulu novelnya supaya dapat feel dan perbandingannya, karena kalau nonton filmnya dulu, pas nanti baca novelnya feelnya nggak terlalu dapat, alhasil halamannya bakal banyak di skip, hahaha. Pengalaman pribadi banget.
Film ini dimulai dengan waktu pagi di mana William Traynor (Sam Claflin) mengalami kecelakaan pada saat hujan deras setelah sebelumnya menghabiskan waktu bersama sang kekasih, Alicia. Setelahnya, cerita melompat ke beberapa tahun kemudian dengan menampilkan adegan seorang gadis penjaga kafe yang terpaksa di PHK oleh boss-nya karena masalah keuangan, yang membuat kafe terancam tutup. Louisa Clark (Emilia Clarke) yang tak lain adalah pelayan kafe yang di PHK mengalami galau kayak gue karena harus mencari pekerjaan lagi.
Disini diceritakan bahwa karakter Will dan Lou, itu bener-bener bertolak belakang. Will disebutkan sebagai seorang pengusaha kelas atas yang cenderung dingin dan ingin orang lain berprilaku sesuai standarnya, kalau bahasa Minangnya itu Ongeh, hahaha. Ishh.. kayaknya gue nggak bakat nge-review deh. Sedangkan Lou sendiri digambarkan sebagai seorang perempuan yang hidupnya lempeng-lempeng aja, ya seperti kerja, pulang, kerja lagi, pacaran, pulang, baru besoknya kerja lagi. Nggak ada liburan lintas negara, olahraga apalagi. Jauuuh banget sama kehidupan Will yang suka banget adventure dan bepergian ke banyak negara.
Namun, namanya hidup siapa yang tahu ya (kalimat andalan gue kalau nggak tahu lagi mau nulis apaan, hahaha), bahwa kecelakaan yang dialami Will membuat dia jadi lumpuh permanen dan menghabiskan waktunya di kursi roda selama dua tahun dan selalu dipantau oleh dokter pibadinya, Nathan. Sehingga bisa dikatakan kecelakaan itu menyebabkan Will kehilangan hidupnya. Saya bisa paham sih seberapa frustasinya Will dalam menjalani hidup, karena bagi seseorang yang sepenuh hidupnya hampir digunakan untuk bepergian, dan tiba-tiba lumpuh permanen, bagaikan seniman yang kehilangan tangannya.
Pada akhirnya, mereka berdua berhasil dipertemukan dengan Lou yang memutuskan untuk melamar pekerjaan menjadi penjaga Will. Bisa dikatakan Lou mengambil pekerjaan ini karena nggak tahan menganggur sedangkan kebutuhan keluarganya nggak bisa dipenuhi, jadi walaupun nggak ada basic, Lou tetap nekat ngelamar karena gaji yang ditawarkan terbilang tinggi. Ya, realistis lah, kalau orang kita bilang itu lagi beruntung karena nggak ada pengalaman kerja tapi tetap diterima.
Jujur, disini saya suka banget dengar mereka ngomong apalagi pas scene mereka berantem gara-gara Lou yang memperbaiki frame foto mantan Will, Alicia. Saya sukaaa banget dengar Sam Claflin bilang “…Go and raid on your grandma’s wardrobe or whatever you do if you’re not making tea” bahkan saat nulis ini aja, saya sambil komat-kamit niruin accent si Sam yang sampai “Suzana Beranak Dalam Kubur” season empat tayang pun saya masih belum bisa niruin. Sumpah ya, gara-gara dulu nonton Suzana saya jadi nggak pernah lagi mau nonton film horror, nih kalau film horror rugi besar karena saya nggak ikutan nonton, semuanya gara-gara Suzana. Kok gue jadi bahas Suzana sih?
Oke, siapa sangka, justru pertengkaran inilah yang membuat Sam akhirnya mau membuka diri terhadap Lou, karena di perdebatan itu si Lou dengan blak-blakan bilang bahwa kalau bisa milih dia mah juga ogah kerja buat ngurusin si Will, dia ngelakuin itu karena terpaksa karena butuh uang.
So, long story short, mereka jadi fit each other, jadi ngomongin banyak hal, bahkan pencapaian baru bagi Louisa bahwa Will mau diajak main keluar, nonton konser music orchestra di mana itu cita-cita gue bangeeeeet, haha. Kemudian mereka juga nonton pacuan kuda kayak Hayati dan Zainuddin, bahkan surprise-nya mereka pergi ke nikahan mantan Will. Ditambah lagi di scene ini mulai diputarnya lagu-lagu Ed Sheren sebagai soundtrack. Jujur, sebelumnya saya pikir film ini sama kayak drama romance menye-menye kebanyakan, di mana di pertengahan kita sudah bisa nebak sendiri endingnya gimana. Etapi, nggak kok, saya awalnya mikir ini juga drama happy ending yang ternyata enggak. Kebanyakan mikir sih, hehe.
Karena jika dilihat dari bagaimana kedekatan Will dan Lou yang mulai tumbuh benih-benih cinta saya mikirnya, Alaah, palingan nanti mereka akan memutuskan hidup bersama dengan dalih aku mencintaimu apa adanya. Basi. Hahaha. Ternyata bukan lho pemirsa, film ini cukup realistis dengan Will yang mempunyai prinsip dan wawasan yang luas dia nggak mau meneruskan hubungannya dengan Louisa, karena menganut sistem keadilan. Karena nggak adil bagi Will, jika Louisa memutuskan hidup bersama dia yang banyak minusnya saat itu.
Pilihan Will nggak bisa diganggu gugat lagi, cocoklah sama latar belakangnya yang seorang pebisnis, punya prinsip gitu lho. Di sini ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan Eutanasia di mana dia membayar dan menjadi member dari Dignitas sebuah organisasi bunuh diri berbantu yang ada di Swiss. Ini menarik sih, karena saya memang tahu bahwa Swiss terkenal dengan wisatawan bunuh dirinya dan yang paling banyak itu emang berasal dari negara Inggris. Dulu saya cuman tahu nama organisasinya Exit doang, Exit ini dari negara tetangga kita Australia, eh setelah nonton ini saya jadi tahu bahwa juga ada Dignitas ternyata.
Setelah, saya telusuri lebih jauh ternyata Dignitas lebih berkelas dari Exit, yak iyalah orang di-endorse sama Sam dan Emilia, haha. Jadi, begitulah endingnya gais, si Will memutuskan mati disuntik di Switzerland dengan ditemani Louisa Clark disisinya. Dan beruntungnya si Lou dia dapat tunjangan pendidikan dari sebagian harta si Will, enak banget deh dia. Endingnya rada mellow sih, di mana si Will nyuruh Lou membaca suratnya setelah sampai di Paris tempat Lou melanjutkan pendidikan dengan duduk di kafe kesukaan Will dulu, kalau dia sedang melakukan perjalanan bisnis atau liburan di Paris.
Saya terharu banget sama isi surat Will, terharu pengen dikuliahin gratis juga ke Paris, hahaha. Disurat itu kelihatan banget jiwa-jiwa orang berpendidikan dan berprinsipnya, cara dia buat nyemangatin Lou. Fix pas scene baca surat ini saya rada baper, view dan musiknya pun mendukung. Nih cuplikan surat dari Will biar kamu nggak penasaran gais.
"...Live boldly, Clark. Push yourself. Don't settle. Wear those stripy legs with pride....". Mungkin karena baca ini mellow nya nggak dapat karena saya review-nya niat nggak niat hahaha.
Jika ditanya apakah film ini recommended? Yak iyalah, gile aje gue udah nulis sepanjang ini, masak nggak recommended, haha. Tapi serius, filmnya enak ditonton saat pandemic kayaknya, bisa ditonton sendiri atau bersama pasangan. Senyamannya aja. Beneran.
Oke terakhir sebagai informasi tambahan saya mau bahas soal Dignitas tadi. Jadi, dikutip dari Wikipedia Dignitas ini adalah sebuah organisasi nirlaba di Swiss di mana bertujuan untuk memberikan pendampingan bunuh diri terhadap anggota organisasinya. Jangan salah, organisasi ini legal kok, karena memberikan bantuan bunuh diri kepada pasien, selama tidak didorong oleh motivasi negatif, itu diperbolehkan oleh pemerintah Swiss. Dignitas sendiri didirikan oleh Ludwig Minnelli pada tanggal 17 Mei tahun 1998, ia juga seorang pengacara hukum bidang hak asasi manusia.
Tenang aja, menjadi member organisasi ini juga harus melalui beberapa prosedur, nggak sembarangan gais. Jangan mentang-mentang mau mati trus daftar organisasi ini lansung diterima. Nggak juga. Karena layaknya organisasi pada umumnya mereka menerapkan beberapa criteria seperti anggotanya memang mempunyai penyakit yang parah atau depresi akut yang menahun. Contoh simple-nya si Will yang benar-benar mengalami lumpuh permanen dan gangguan parah pada sum-sum tulang belakang. Dalam kasus ini si Will emang nggak bisa sembuh, persentasinya keciiiiil, makanya ketika mengajukan diri jadi member dia lolos, karena memang masuk kategori.
Rata-rata anggota dari organisasi ini memang lansia, jika adapun yang usia produktif, rata-rata mereka kayak Will atau pengidap depresi akut. Dalam pendampingan bunuh diri pun, anggotanya selalu ditanya apakah benar ingin dilanjutkan. Sedangkan jika ada yang berubah pikiran maka pendampingan mereka hentikan. Yak iyalah hahaha. Nah, untuk biayanya sendiri, kamu gais perlu merogoh kocek sebanyak 118 sampai 177 juta untuk bisa jadi member diorganisasi Dignitas. Sedangkan untuk jadi member Exit saya nggak dapat informasi yang jelas total biaya yang dikeluarkan.
Ini sekedar informasi saja ya, bukan untuk dipraktekan apalagi daftar jadi member jangan gais. Walau bagaimanapun berjuanglah, bullshit bener emang kalau ngomong gini. But, I really mean it. Akhir kata saya mau ngutip kata mutiara dari novel yang saya baca "If you don't go through life with an open mind, you will find a lot of closed doors". Semoga bermanfaat ya, see ya!
Ps.pic from pinterest
Tenang aja, menjadi member organisasi ini juga harus melalui beberapa prosedur, nggak sembarangan gais. Jangan mentang-mentang mau mati trus daftar organisasi ini lansung diterima. Nggak juga. Karena layaknya organisasi pada umumnya mereka menerapkan beberapa criteria seperti anggotanya memang mempunyai penyakit yang parah atau depresi akut yang menahun. Contoh simple-nya si Will yang benar-benar mengalami lumpuh permanen dan gangguan parah pada sum-sum tulang belakang. Dalam kasus ini si Will emang nggak bisa sembuh, persentasinya keciiiiil, makanya ketika mengajukan diri jadi member dia lolos, karena memang masuk kategori.
Rata-rata anggota dari organisasi ini memang lansia, jika adapun yang usia produktif, rata-rata mereka kayak Will atau pengidap depresi akut. Dalam pendampingan bunuh diri pun, anggotanya selalu ditanya apakah benar ingin dilanjutkan. Sedangkan jika ada yang berubah pikiran maka pendampingan mereka hentikan. Yak iyalah hahaha. Nah, untuk biayanya sendiri, kamu gais perlu merogoh kocek sebanyak 118 sampai 177 juta untuk bisa jadi member diorganisasi Dignitas. Sedangkan untuk jadi member Exit saya nggak dapat informasi yang jelas total biaya yang dikeluarkan.
Ini sekedar informasi saja ya, bukan untuk dipraktekan apalagi daftar jadi member jangan gais. Walau bagaimanapun berjuanglah, bullshit bener emang kalau ngomong gini. But, I really mean it. Akhir kata saya mau ngutip kata mutiara dari novel yang saya baca "If you don't go through life with an open mind, you will find a lot of closed doors". Semoga bermanfaat ya, see ya!
Ps.pic from pinterest
6 comments