I Love You, Now Die: Berkaca Dari Kasusnya Michelle Carter

by - August 26, 2020


Pic from Pinterest

Postingan kali ini terinspirasi dari film dokumenter yang ditayangkan oleh HBO pada awal tahun 2019 lalu. Film dokumenter yang berjudul "I love you, Now die: The commonwealth V. Michelle Carter" ini, adalah bukti nyata lainnya dari kata-kata dapat membunuh seseorang. Secara keseluruhan film ini bercerita tentang bagaimana sosok Michelle meyakinkan sang pacar agar memantapkan hatinya untuk membunuh dirinya sendiri. 

Jika biasanya seseorang akan mengakhiri hidupnya karena lelah menerima hate speech dari orang lain, seperti yang dialami Sully dan banyak artis lainnya. Maka, berbeda dengan Conrad, dia mengakhiri hidupnya setelah berulang kali diyakinkan oleh kekasihnya sendiri. Michelle mengaku sangat mencintai Conrad dan ia ingin sang pacar bisa berbahagia di surga, “Heaven needs a hero” tulisnya, untuk membujuk Conrad. 

Meski pada akhirnya diketahui bahwa Conrad memang mempunyai mental illness, yaitu depresi akut yang menyebabkan ia selalu berpikiran untuk mengakhiri hidupnya dan beberapa kali sempat melakukan percobaan bunuh diri. Namun, yang menjadi permasalahan bagi  keluarga Conrad adalah, bahwa setiap Conrad ragu menjalankan aksinya, Michelle selalu datang untuk membujuk dan meyakinkan Conrad bahwa jalan yang dipilihnya sudah benar. 

Kejadian ini mengingatkan saya tentang Educational Psychology yang dulu pernah saya pelajari, sewaktu di kampus.  Salah satunya adalah seberapa parah kata-kata bisa mempengaruhi psikologi seseorang. Sejatinya kata-kata bisa mempengaruhi seseorang dalam bertindak, jurus seperti inilah yang banyak digunakan oleh para motivator untuk membujuk dan mempengaruhi pemikiran para audience-nya. Jangankan motivator perkataan orang-orang terdekat kita, seperti para sahabat saja bisa mempengaruhi tindakan kita, apa lagi perkataan tetangga, euh, tahu sendiri kan gimana? haha.

Dalam mendidik seorang anak pun kita selalu diajarkan untuk bertutur kata lembut dan disarankan untuk menghindari menggunakan kata “Jangan”  ketika melarang si bocil. Sulit memang. Saya pribadi berpendapat, bahwa ada banyak hal yang bisa kita pelajari sebagai young adult dari film ini, apalagi bagi pasangan yang memutuskan untuk punya anak, seperti bagaimana cara membangun komunikasi dan kenyamanan seorang anak untuk bisa bersifat terbuka. Kenyamanan yang kita bangun bagaimana kelak si anak juga bisa bercerita apa saja pada kita layaknya seorang sahabat. Haduuh, sok expert banget sih gue.

Di sini Conrad diceritakan sangat depresi dengan keadaan rumah tangga kedua orangtuanya. Disebuah video singkat yang ditemukan oleh polisi dalam laptopnya, Conrad bercerita bahwa dia begitu mencemaskan masa depannya dan tak jarang menganggap dirinya useless. Meski diceritakan bahwa Conrad sangat pintar dan berprestasi, namun hal itu tidak membuatnya cukup percaya diri, bahkan dia juga mendapat beasiswa untuk melanjutkan studinya ke jenjang kuliah. Kurang berprestasi apa coba, si Conrad. 

Dia juga bercerita bahwa ada banyak banget suara di kepalanya yang menyuruhnya untuk mengakhiri hidupnya. Sebenarnya saya paham sih kenapa Conrad merasa tidak confident dengan dirinya sendiri, karena saya dulu juga begitu, bahkan saya sempat gap year dulu baru kemudian akhirnya lanjut kuliah, karena perceraian kedua orangtua saya membuat saya malu menghadapi dunia. Kalau dipikirkan lagi sekarang, tindakan saya saat itu terdengar berlebihan memang, tapi balik lagi I was a teenager, saya hanya tidak tahu bagaimana bersikap.

Selain menemukan video curhatan Conrad, polisi juga menemukan sebuah catatan bagaimana tidak sehatnya hubungan Conrad dengan ayahnya. Dicatatan itu dituliskan bahwa, sang ayah pernah memukulinya habis-habisan hanya karena masalah sepele.

"Told Dad I would put pan of mac and cheese away after commercial of baseball game.  He said do it now. I said no I will do it after commercial. He punched me repeatedly and pinned me down. I couldn’t get up. 5-10 punches to face. His girlfriend said I was a piece of shit. I left and went to neighbor". 

See? Segitunya bapaknya mukulin dia cuman gara-gara wajan macaroni, kalau saya pribadi bilangnya bapaknya ini perlu dirukyah deh, brainless bener, sumpah. Di sini saya berpendapat bahwa banyak banget pasangan yang sudah menikah nggak melakukan konseling dulu sebelum punya anak, terdengar sotoy memang. 

Nggak tahu kenapa saya mikirnya ini tuh penting banget mengetahui mental kita gimana sebelum memutuskan untuk punya anak, apakah kita beneran siap kekurangan waktu dan mengorbankan banyak hal. Saya salut banget sih sama orang-orang di luar sana yang bener-bener memahami bahwa mempunyai anak bukan hanya sekedar pengin punya anak aja, sekedar menghindari omongan orang aja, ada tanggung jawab yang besar banget di sana. Dan ketika punya anak pun, memang karena mereka sudah siap.

Hal ini mengingatkan saya tentang video singkat yang pernah saya tonton di sosmed, bahwa ada seorang bocah yang nanya sama mamanya, “Ma, hal besar apa yang mama korbankan ketika memutuskan untuk melahirkanku? Dan apakah mama menyesalinya?”

Nggak enak banget pasti rasanya jika ditanyai hal ini, jika kita benar-benar belum siap  secara fisik dan mental. Oke, maafkan kayaknya saya memang sudah terlalu sotoy deh. Baiklah mari kita balik lagi ke Conrad.

Setelah penayangan film ini, banyak sekali argumen netizen yang memojokan Michelle. Menyebutnya sebagai monster mengerikanlah, nggak punya hatilah, ya, seperti biasa bahwa jika berhadapan sama kesalahan orang, kita mendadak menjadi manusia paling suci dan merasa paling berhak menghakimi. Mereka beranggapan bahwa ini sepenuhnya kesalahan Michelle.

While, saya sendiri beranggapan bahwa orangtua Conrad juga berperan dalam kasus ini, di film bagian kedua Conrad sempat curhat kepada Michelle bahwa ibunya sudah melihat laptopnya yang berisi berbagai metode bunuh diri yang painless, yang sudah dipersiapkan Conrad untuk mendukung rencananya. Namun anehnya, sang ibu diam aja dan  nggak respon apa-apa, padahal Conrad sendiri melihat ibunya sempat membaca artikel-artikel tersebut.

Belakangan juga diketahui bahwa Michelle juga mengidap depresi, pengacaranya sempat membela Michelle dengan dalih, bahwa Michelle dalam pengaruh obat dan halusinasi. Saya tidak mendukung tindakan Michelle yang menyemangati pacarnya untuk bunuh diri berulang kali, karena saya paham dengan jiwa labil anak enam belas tahun (sok-soan banget sih woy, haha) ditambah lagi hidup di Amerika kayaknya extreme banget deh. Soalnya saya pernah nonton video youtube Radit di mana Boy William pernah cerita tentang susahnya jadi anak SMA di USA. Diperkuat sama curhatan influencer favorit saya Subhi Taha asal Texas, bagaimana dia menceritakan susahnya buat punya teman di Senior High School.

Saya tidak membenarkan tindakan Michelle di sini, karena setahu saya, membujuk orang lain untuk bunuh diri, bukanlah sebuah akhlak yang terpuji. Namun, peran orangtua Conrad  juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Ya, memang sebagai orang tua kadang mereka tidak bisa sepenuhnya mengontrol dengan siapa saja anaknya bergaul diluar sana, cuman karena kurangnya chemistry antara Conrad dan orangtanya yang menyebabkan dia tidak terbuka. 

Bahkan, saya sempat aneh melihat reaksi Lyn ibunya Conrad ketika berhasil membaca koleksi artikel anaknya yang berhubungan dengan suicide, hingga akhirnya Conrad benar-benar menerapkan hal itu saat bunuh diri, di mana dia menghirup karbon monoksida diruangan tertutup. Seharusnya sih, ibu Conrad aware, apalagi si anak sempat beberapa kali dirawat dirumah sakit karena gagal dalam melakukan bunuh diri. Tapi balik lagi, itu hanya pandangan pribadi saya saja, karena bagaimanapun saya tidak bisa judge karena tidak tahu persisnya seperti apa.

Kesalahan fatal Michelle yang tidak bisa dimaafkan di sini adalah ketika dia menyuruh sang pacar kembali masuk kedalam mobil terkunci yang penuh gas karbon monoksida, di mana saat itu Conrad sempat takut dan ingin mengagalkan aksi bunuh dirinya.

Kemudian masalah penayangan film ini, rasanya HBO kurang tepat, karena bagaimanapun masa depan Michelle masih panjang dia masih muda. Penayangan film dokumenter tentang dirinya saya rasa akan semakin membunuh kepercayaan dirinya, apalagi dia mengalami kesulitan dalam mencari teman. Sampai film documenter ini rilis pun pihak Michelle tetap menolak untuk terlibat. Entahlah, namanya juga dunia hiburan, saya tidak paham bagaimana aturan mainnya.

Banyak banget sih yang saya pelajari dari kasus ini, terlepas dari apapun maksud HBO dari merilis film ini, semoga para penonton bisa mengambil sisi positive-nya saja tanpa menghakimi Michelle, karena jujur saya kasihan juga sama dia, ya walaupun dia juga salah. Tidak ada pembenaran dari tindakan menghilangkan nyawa orang lain. Baiklah kayaknya segini aja deh, bagi udah nonton film ini, let me know what you think about it, guys. See ya!

You May Also Like

12 comments

  1. Hai mbak, judul dokumenternya menarik banget. Sayang nggak langganan HBO hiks...Kalau ada saya pasti nonton.
    Michelle ada mental illness juga, ya. Habis menurut saya kok ngeri banget persuasi supaya pacarnya bunuh diri. Awalnya saya kira rada-rada psikopat. Pernah baca cerita pembunuhan yang si pembunuhnya nggak pernah mengotori tangannya sendiri, tapi metode dia membuat orang lain melakukan tindakan itu...

    Salam kenal sebelumnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi mba Phebie, bener mbaa, kalau ada kesempatan nonton deh mba. Menarik banget sih film ini menurut saya, meskipun didominasi sama sidang di pengadilan sama kayak dokumenter Ted Bundy tapi tetep recommended buat si tonton.

      Thank you udah main kesini mba, salam kenal juga.

      Delete
  2. Salah satu kesenangan saya saat membaca blog adalah menemukan pembahasan buku maupun film secara spesifik. Bukan hanya sekadar ulasan. Saya bisa nangkap poin kak Sovia untuk tidak menyalahkan sepenuhnya perbuatan Michele, tapi tidak mengamini bahwa itu perbuatan yang benar juga. Saya simpan di watchlist dulu :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha thank you apresiasinya Rahul.

      Bener, sayang banget sih semua orang fokus ke kesalahan Michelle, padahal sebenarnya ada banyak faktor di sana.

      Delete
  3. Kasihan juga ya sama michelle. Dirilisnya film dokumenter ini pasti berpengaruh buat masa depannya nanti. Kalau membahas soal mentall illnes gini emang ribet. Perasaan itu sesuatu yang rumit. Kita nggak bisa menyembuhkan mental illnes dengan cepat kayak ngobatin luka lecet. Saya bersyukur banget hidup di keluarga yang peduli sama keselamatan saya. Semoga nggak ada lagi conrad dan michelle lain di luaran sana. Semoga kita bisa saling peduli sama perasaan orang lain. Seenggaknya nggak ngomong sesuatu yang bikin mereka sakit hati😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mba Tria, padahal dia masih 16 tahun, kasihan. Setuju mba, mental illness memang nggak gampang, karena kadang yang diinginkan bukan bahagia cuman pengen kepala tenang, karena setahu saya salah satu yang bikin frustrated dari depresi itu adalah banyak banget suara-suara di kepala.

      Iya mba, semoga kita terbiasa menjaga lisan dari omongan yang nggak enak.

      Delete
  4. Waw, aku malah dibuat kesal dengan tindakan orangtua Conrad. Padahal hanya baca tulisan kak Sovia aja tapi rasanya jadi kesal 😂
    Memang menjadi orangtua itu nggak mudah. Benar apa kata kak Sovia, kita harus benar-benar siap mental kalau ingin menjadi orangtua. Ini juga yang selalu aku pikirkan, apakah kelak ketika aku udah menikah, aku siap menjadi orangtua, apakah aku bisa menjadi orangtua yang baik, dll.
    Lewat film ini, rasanya seperti menyentil banyak pihak ya. Sayangnya, orang-orang kebanyakan fokus di karakter Michelle, while sebenarnya karakter lain juga bertanggung jawab atas apa yang menimpa Conrad 😥

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener Li, heranin nggak sih ibunya, trus malesnya lagi pas di wawancara bapaknya juga nangis-nangis padahal dia sendiri tonjokin anaknya sampai segitunya.

      Semoga nanti kalau jadi orangtua Lia jadi mama yang bener-bener udah siap fisik dan mentalnya. Setuju Lia harusnya orangtua Conrad juga harus di pertimbangkan di sini. Semoga nggak ada lagi Conrad lain di luar sana.

      Delete
  5. Ini menarik, tapi sayangnya aku g langganan HBO.
    Ngomong-ngomong tentang punya anak, I couldn't agree more. Ada baiknya untuk pasangan-pasangan yang ingin memiliki anak untuk pergi melakukan konseling dan pengecekan kesehatan terlebih dahulu.
    Menjadi orang tua bukanlah perkara mudah, ini semacam bentuk pengorbanan yang tidak ada habisnya. Yang aku sayangkan orang-orang menyepelekan hal ini, apalagi di tempat kita hampir mayoritas mempercayai bahwa tujuan hidup ke dunia ini adalah menikah dan memiliki keturunan tanpa persiapan yang baik dari sisi mental, fisik, dan finansial. I mean like Conrad, apakah Conrad bisa memilih untuk lahir dari orang tua yang seperti apa? Nggak, kita semua nggak ada yang bisa milih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mba Pipit banyak banget yang dipeetimbangkan memang kalau memilih mempunyai anak, jangan sampai nanti kayak si Conrad pas lahir dia malah pengen mati aja, sediig sih, sampai akhirnya dia memilih untuk berhenti berjuang. Apalagi Indonesia, nggak punya anak jadi omongan. Makanya saya salut sama pasangan yang bener2 mengerti akan hal ini.

      Delete
  6. Saya pernah baca review film ini entah di mana, dan kembali membacanya di blog mba Sovia dengan lebih lengkap jadi bisa membayangkan alurnya. Coba nanti saya cari filmnya, karena saya penasaran 😂 hehehehe.

    Eniho saya setuju sama statement mba bahwa menjadi orang tua nggak mudah dan butuh persiapan matang. That's why saya pribadi masih belum bersedia untuk jadi orang tua dan mungkin nggak akan jadi orang tua entah sampai kapan. Karena menjadi orang tua itu life long contract, minimal 25 tahun lamanya which is nggak mudah untuk menginvestasikan diri saya ke dalam komitmen tersebut, apalagi bawa nyawa anak kecil nggak berdosa 🙈

    Kalau dari cerita yang mba jelaskan di atas, memang terlihat penyebab Conrad bisa sampai pada tahap suicide bukan hanya karena Michelle namun juga karena keenggakbecusan orang tuanya dalam membesarkan dan mendidik Conrad. Apalagi saat tau ibunya biasa saja padahal sedang membaca pembahasan mengenai suicide yang Conrad simpan. Ew. Nggak habis pikir saya. Ditambah bapaknya yang menghajar Conrad hanya karena wajan 😓

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tontonin deh mba, menarik kok, hehehe.

      Bener mba, beraat banget menurut saya, personally sama seperti mba, jika seandainya nanti saya menikah pun, saya nggak tahu apakah saya bakal punya anak apa nggak. Karena banyak banget ketakutan dan saya nggak tahu apaka sanggup atau tidak.

      Bapaknya ngeselin bener emang mbaa 😈

      Delete

Raise Your Words, Not Voice. It's Rain That Grows Flowers, Not Thunder.
-- El Rumi --