Perempuan dan Kemerdekaan

by - August 18, 2020



Pic from Pinterest

Sebelumnya, I wanna say happy independence day Indonesia yang ke-75, semoga semakin baik bangsa dan negeri ini untuk ke depannya. 

Menilik lagi ke belakang mulai dari pembentukan negara ini, sepertinya perempuan dan kemerdekaan adalah dua kata yang sangat sulit untuk berjalan beriringan. Tulisan ini murni atas pandangan saya pribadi, ditambah dengan pengalaman saya  dan orang terdekat di sekitar saya. 

Jujur, dulu sebelum dewasa saya tidak pernah berpikir bahwa hidup sebagai perempuan penuh dengan tuntutan seperti ini, dulu saya adalah gadis kecil pada umumnya, memandang dunia ini sebagai cupcakes yang pilihan rasanya selalu manis. Selalu bermimpi, dewasa nanti saya akan bekerja dan bertemu dengan seseorang, kemudian kami saling mencintai, menikah, punya empat anak, dan akhirnya hidup bahagia selamanya sampai maut menjemput. Sesederhana itu pemikiran saya tentang hidup, makanya saya selalu berpikir menjadi dewasa itu menyenangkan. 

Beranjak remaja semua pandangan itu perlahan berubah, hidup sebagai perempuan dengan masyarakatnya yang memegang kuat pemikiran patriarki ternyata lumayan sulit, sebagai perempuan saya harus didikte ini itu sesuai standard yang diterapkan di masyarakat, saya sempat mengeluh dan bilang Tuhan tidak adil, kenapa saya terlahir sebagai perempuan. 

Realita dan lingkungan saya hidup merubah diri saya secara perlahan, terlahir dari keluarga yang relasinya tidak sehat membuat saya tambah membenci diri saya yang terlahir sebagai perempuan, duluuuu sekali saya berpikir perempuan itu lemah, mereka nggak bisa ngapa-ngapain ketika dijahatin sama laki-laki. Pemikiran seperti ini datang dari seringnya saya melihat pertengkaran kedua orang tua saya. Bapak itu adalah pribadi yang kasar, pemarah, dan suka banget banting barang-barang yang ada di rumah. Mamak adalah orang selalu diam atau jawab seadanya jika berantem sama bapak, lalu nanti saya akan lihat dia nangis diam-diam, kalau bapak sudah pergi.

Hal ini juga saya lihat di sekolah, di mana teman-teman cowok selalu gangguin anak cewek dan lagi-lagi bisanya cuma nangis. Dari dulu saya memang sudah kesel kayaknya sama kelakuan cowok toxic, yaa walau anak esde belum bisa dibilang toxic ya. Saya masih ingat sekali, dulu sehabis sholat saya selalu berdoa sama Allah dengan khusyuk, supaya semua cowok yang ada di dunia ini menghilang saja atau ditarok di planet lain yang nggak ada sayanya.

Dulu saya juga sering iri sama adek saya yang cowok, karena dia bisa bebas ngelakuin hal apapun yang dia suka. Bapak selalu melarang anak perempuannya main keluar, bagi dia perempuan itu ya, di rumah. Benar-benar menganut budaya patriarki. Dulu saya sering banget dipukulin karena bandel tetap aja main keluar. Pernah juga saya dipukulin habis-habisan di depan orang rame, rasanya mau mati aja saking malunya. Pokoknya cara bapak memperlakukan anak perempuannya beda banget sama anak cowoknya. 

Belum lagi budaya blaming victim yang melekat erat di diri masyarakat, dulu saya belum tahu istilah ini off course. Pernah terjadi suatu kejadian yang susaaaah banget hilangnya di kepala saya, yaitu kakak kelas saya di sekolah esde diperkosa, sialnya masyarakat malah sibuk bahasin keperawan dan kata-kata lainnya yang bikin saya jijik sama masyarakat sendiri. Jadi perempuan itu susah, karena sering diperlakukan semena-mena sama laki-laki dan masyarakat sekitar. Sering ya, bukan selalu.

Di hari ulang tahun negara ini yang ke sekian kalinya, saya ingin melihat apa saja yang dimerdekakan oleh negara ini. Dan setelah saya perhatikan, banyak yang belum merdeka, saya menulis ini bukan untuk mengeluh, hanya untuk pengingat mana tahu dua puluh atau tiga puluh tahun yang akan datang sudah terealisasikan kemerdekaan sesungguhnya, di mana anak-anak bisa sekolah tanpa takut terkendala biaya dan para perempuan tidak takut lagi digrepe-grepe di jalanan sepi, tulisan ini hanya sebagai perbandingan jika diizinkan saya hidup lama dan menyaksikan kesejahteraan yang dijanjikan itu.

Setelah dewasa akhirnya saya bisa melihat dari dekat tuntutan-tuntutan yang dipaksakan kepada perempuan tersebut, karena beberapa kali saya juga pernah kecipratan. Seperti perempuan yang harus bisa masak, perempuan harus cekatan, perempuan harus putih and the bla and the ble yang malas banget saya sebutin satu-satu. To be completely honest, saya nggak bisa masak, bukan karena saya malas, tapi karena memang saya nggak suka masak, biar diperjelas bahwa saya nggak suka masak. Saya suka bersih-bersih selain setrika dan nyapu halaman rumah pastinya, jujur saya lupa apakah saya pernah nyapu halaman atau tidak. 

Mungkin di beberapa postingan sebelumnya saya pernah bilang bahwa saya mengidap trust issue yang lumayan parah. Saya benci drama pacaran perempuan-perempuan di sekitar saya, itulah alasan kenapa saya suka julid dan kesel sama beberapa teman yang nangis-nangis soal percintaan, mungkin karena saya sudah muak sama kondisi seperti itu. Itu dulu ya, sekarang saya sudah bisa agree to disagree bahwa mereka boleh kok jadi wanita menye-menye karena drama percintaan mereka, sama seperti saya yang sah-sah saja tidak percaya sama cinta antara pasangan, toh hidup tidak melulu tentang hitam dan putih, bisa saja merah, hijau lumut atau abu-abu monyet.

Saya itu suka banget baca-baca artikel atau data-data tentang kekerasan dan pelecehan perempuan di Indonesia, saya bahkan bisa buka tujuh puluh tab lebih untuk membaca artikel atau  melihat perbandingan data-data tiap tahunnya. Sama saya juga suka banget membaca artikel tentang seberapa pantas dan merata pendidikan di negeri ini. Dua hal ini kadang bisa membuat saya diam-diam menangis terisak-isak. Saya juga sering diingatkan sama Tari, bahwa itu tidak sehat. 

Mungkin karena saya suka banget sekolah dan dulu bapak selalu mengancam saya dengan ini kalau seandainya mamak lari dari rumah, dia selalu bilang kalau akan memberhentikan saya sekolah kalau seandainya saya ikut mamak.

Dengan pengalaman dan bagaimana saya dididik sewaktu kecil, tanpa sadar saya membangun benteng yang tinggi banget dalam diri saya, hanya orang-orang tertentu yang saya izinkan masuk ke daerah territory itu dan cowok bukan salah satunya. Saya masih ingat sekali dulu betapa jijiknya saya ketika ada cowok yang suka sama saya. Sewaktu kelas dua menengah pertama, saya pernah menggeledah tas teman sekelas saat jam istirahat, karena ada kabar yang berhembus, bahwa dia bermaksud mengirimi saya surat cinta. Saking tidak terimanya saya mencari sendiri surat itu, saya sobek-sobek dan saya buang di selokan. Di sekolah saya juga dibilang jutek dan cuek, saya tidak sadar kalau ternyata saya seperti itu.

Disuguhi sama drama pernikahan ke dua orangtua saya, membuat saya membangun definisi sendiri tentang apa itu pernikahan. Beberapa tahun belakangan ini, menikah tidak pernah masuk dalam list hidup saya, karena saya masih belum tahu apa esistensi dari hidup ber-partner yang dilegalkan secara agama dan negara.

Menjadi perempuan itu nyesek banget, karena dari yang saya perhatikan di sekitar saya, mereka harus kehilangan banyak hal ketika menikah, seperti tetangga depan rumah saya yang dipaksa berhenti bekerja oleh suaminya, di lain situasi tetangga sebelahnya lagi malah harus ikutan banting tulang untuk memenuhi kebutuhannya. 

Jujur saja, saya tidak percaya sama yang namanya istilah multitasking dan monotasking, perempuan bisa multitasking for me is a big bullsh*t. Faktanya mereka bisa banyak hal karena dituntut keadaan, mereka harus bisa mengurusi rumah, anak dan pekerjaan secara bersamaan karena nggak punya cukup uang untuk bayar asisten rumah tangga.

Dari lahir sudah ditanamkan ke batok kepala kita, bahwa sebagai perempuan kita harus bisa ini, itu. Nanti ketika sudah menikah harus begini begitu biar bisa meringankan beban suami dan bla bla lainnya. Beruntung saat dewasa kita berjumpa lelaki yang benar-benar paham bahwa menjadi istri tidak melulu harus begini begitu, nah, bagi yang tidak? Ya, gimana lagi.

Saya tidak menghakimi siapapun yang melakukan pekerjaan rumah, mengurus anak dan suami secara bersamaan, karena kamu sebagai perempuan berhak memutuskan apa pun dalam hidup kamu, mau jadi ibu rumah tangga sepenuhnya, wanita career atau apa saja, asal kita suka, asal kita bahagia. Point saya di sini adalah bagi perempuan yang terpaksa melakukan banyak hal secara bersamaan, kemudian dipaksa percaya bahwa itu wajar, bahwa perempuan itu diciptakan multasking. Saya bilang ini karena saya tahu persis gimana rasanya saya dipaksa masak enak sama mamak saat pulang kampung, sedangkan saya nggak suka masak. I hate cooking. 

Perempuan dan kemerdekaan itu belum bisa berjalan sambil gandengan tangan, karena susaaaah merubah kepercayaan yang sudah mengakar selama bertahun, masih banyak kemerdekaan perempuan yang belum tercapai, merdeka dari jadi samsak tinju suaminya, ayahnya, abangnya, pamannya. Merdeka atas tubuh mereka sendiri, karena setelah saya perhatikan ada perempuan yang ketika menikah kehilangan hak terhadap diri sendiri, mereka tidak bebas lagi berkarya, karena didikan dari keluarganya yang harus tunduk sama suami, surga seorang isteri ada pada suaminya.

Menyaksikan ini membuat saya sadar, bahwa benar yang dikatakan oleh William Blake, bahwa agama memiliki dua rasa yaitu agama yang gelap dan dogmatis menekan pemikiran kreatif kemudian agama yang terang dan luas mendukung instropeksi dan kreativitas. Mungkin ini lah sebabnya para bigots (politik, agama, et cetera) itu berbahaya.

Perempuan belum merdeka memutuskan apapun menyangkut kebahagiaannya, seperti masih banyak perempuan yang dikatakan perawan tua karena telat menikah, atau istilah perempuan yang tidak sempurna karena belum bisa punya anak, seolah fungsi perempuan itu hanya melahirkan anak saja, atau bahkan dikasihani bagi mereka yang memutuskan untuk menua sendiri, alasan yang sama kenapa saya belum bisa bilang kepada keluarga bahwa saya tidak mau menikah. Karena tidak menikah pasti akan dikasihani, atau diceramahi seolah-olah kita sudah murtad dan harus dituntun kembali ke jalan yang benar.

Ada sebuah cerita tentang perempuan yang belum merdeka memilih dalam hidupnya ini, dia blogger favorite saya yang selalu bercerita tentang kesehariannya di blog, suatu siang tiba-tiba dia posting bahwa dia dipecat dari kantor dan salah satu alasannya adalah karena ketahuan dia  seorang perokok dan dia perempuan, saya jadi miris bacanya bagaimana atasannya mengata-ngatai dia tentang perempuan dan rokok, pertanyaan saya sejak kapan rokok punya jenis kelamin? 

Kenapa perempuan itu harus ditarok dalam kotak-kotak sih, memang apa salahnya kalau dia merokok selama dia tidak merokok sembarangan, ya tidak masalah. Jujur saja, saya juga tidak suka sama perokok, yaitu perokok yang nggak tahu aturan dan yang egois merokok di sembarang tempat.

Menjadi perempuan di negara ini harus kuat mental, karena harus siap siaga dicap ini itu dan kita juga harus berjuang lebih, dalam meyuarakan kebebasan kita terhadap tubuh kita dan keputusan kita. Menjadi perempuan di negara ini juga dihantui banyak ketakutan, seperti ketika mengalami pelecehan, para perempuan takut bersuara, takut dicap aib keluarga, takut dicap perempuan kotor, nggak berguna lagi kalau sudah tidak perawan, seolah-olah kita ini barang, yang bisa berkurang nilainya.

Lama-lama saya jadi curiga, jangan-jangan keperawanan ini hanya mitos, dilihat begitu senjangnya bagaimana mana penilaian seks antara laki-laki dan perempuan, karena ada laki-laki yang beranggapan bahwa tidur dengan banyak perempuan itu adalah sebuah prestasi, sedangkan ada (malah banyaaaak) perempuan yang beranggapan keperawanan adalah harga mati, lebih baik mati jika sudah tak perawan. Bisa saja orang yang menciptakan teori ini untuk menguntungkan dirinya, bisa sajakan. Ahilaaa, suudzon mulu gue.

Jujur, saya pernah hampir mengalami pelecehan seksual (diluar komentar seksis dan catcalling). Saya masih ingat sewaktu esde, tetangga saya pernah menyuruh saya buat pelorotin celana dalam untuk menengok vagina saya, karena saya merasa itu tidak benar, kayak ada sesuatu yang berontak dalam diri saya yang mengatakan itu salah, jadi saya memilih lari dan pulang ke rumah, itu si kampret sempat ngejar saya tapi untung waktu itu ada teman saya yang lihat dan dia lansung berhenti seolah-olah nggak ada apa-apa. Bertahun-tahun rahasia ini saya simpan dan hanya saya ceritakan pada satu orang, dengan dalih malu.

Sekarang saya berani bercerita karena saya sadar tidak ada yang harus dimalukan dari korban pelecehan, karena yang seharusnya malu adalah pelaku, yang nggak gunain otaknya dan berusaha mencabuli saya. Thank God, saya masih punya insting waktu itu, karena sejujurnya dulu saya belum tahu kalau itu pelecehan.

Sekarang seiring berjalannya waktu defenisi tentang perempuan itu makhluk lemah terpatahkan, bagaimana bisa saya dulu berpikir bahwa perempuan itu lemah dengan segala tuntutan dan tantangan yang ada di pundaknya, perempuan adalah makhluk kuat dan unik secara bersamaan. Perempuan itu luar biasa dengan segala perjalanan hidupnya, kamu lebih dari apa yang kamu tahu gurl.

Kepada perempuan lain yang berjuang di luar sana, terimakasih, karena patriarki tidak selalu mudah, please be strong. Dan kepada mereka yang putus asa karena kerasnya tuntutan, saya dengan setulus hati berdoa semoga Allah mudahkan jalanmu, Allah lapangkan hatimu, dan kuatkan pundakmu, tetap berjuang, please.

Sekali lagi selamat ulang tahun Ibu Pertiwi, semoga semakin jaya para lelakimu dan sejahtera para perempuanmu. Semoga tercapai kemerdekaan yang sesungguhnya.



You May Also Like

8 comments

  1. Suka tulisannya mba Sovia, deep sekaliiii ~ makna kemerdekaan yang sesungguhnya, yang masih jauh dari harapan tapi bukan nggak mungkin untuk tercapai di beberapa tahun mendatang if only semua lapisan masyarakat berusaha saling dukung satu sama lainnya 💕

    Saya pribadi pun merasakan, hidup jadi wanita nggak mudah. Banyak aturan yang perlu saya ikuti pada awalnya, mungkin karena saat itu saya nggak paham kalau saya punya kebebasan memilih dan bersuara. However berjalan dengan waktu, saya mulai bisa memerdekakan diri saya 😄 sebab saya tau, saya nggak bisa terus menunggu 'kebijakan' ~

    Ketika memutuskan untuk terikat pun saya sebelumnya bicara banyak dengan pasangan. Menyatukan value, visi dan misi yang dipunya. Saya yang mau tetap berkarir kalau bisa sampai saya berhenti dengan sendirinya terlepas dia mampu menafkahi saya, dan saya yang nggak bisa memasak pada awalnya, even nggak bisa bersihkan rumah, pun saya yang masih berpikir panjang perihal keturunan 🙈

    Saya rasa memilih pasangan memang butuh efforts besar, jadi it's okay banget kalau sekarang mba Sovia sedang dalam tahap belum memiliki kepercayaan. Nanti akan ada waktunya, mba ketemu sama pria yang mungkin bisa menerima semua prinsip mba apa adanya. Eniho, pesan dari saya, jangan berkompromi pada hal-hal yang nggak bisa kita terima hanya atas dasar cinta. Dan jangan berpikir kita bisa mengubah seseorang. Means, kita harus cari pasangan yang bisa fit kita bukan kitanya yang fit ke dia, karena itu tugas dia untuk cari yang bisa fit ke dia. One day, akan ketemu kok yang akhirnya bisa fit to each other alias pas 😄

    Dan turut sedih akan pengalaman yang mba Sovia alami mengenai pelecehan sexual. Sangat disayangkan hal-hal seperti ini terus ada. Semoga kita dijauhkan dari hal-hal yang akan merugikan kita ke depannya dan semoga para predator bisa tobat secepatnya ~

    Selamat ulang tahun, Indonesia 💕

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mba Enooo, senang rasanya kalau memang mba suka, sempat ragu mau posting ini, karena saya rasa topiknya sensitip.

      Bener banget mba, memang suatu yang sulit buat kita terbebas dari segala stereotype, social norms, social genders, patriarki or what ever you named it, tapi bukan berarti nggak mungkin saya selalu berharap yang terbaik minimal untuk perempuan2 di sekitar saya.

      Saya juga capek mba di suruh ini, itu biar sesuai standard orang-orang. Sampai akhirnya saya bisa perlahan bebas dari tuntutan itu, walau belum sepenuhnya.

      Betewe, setiap mba posting tentang mba dan si kesayangan saya selalu bersyukur bahwa ternyata masih banyak kok perempuan di luar sana menikah karena mereka memang mereka ingin menikah, bukan karena social pressure, dan setiap mba cerita bagai mba dengan pasangan, hati saya menghangat, longlast mba dan bahagia terus.

      Ngomongin nyari pasangan, emang benar-benar butuh pertimbangan yang besar, pokoknya kalau setiap ngomongin pasangan ngga tahu kenapa pikiran saya selalu relate sama tulisan tentang "know your worth" pesan mba di sana melekat banget dipikiran saya, dan off course saya setuju banget.

      Amiin mba, mudah2an suatu saat saya bisa berjumpa seseorang yang mampu merubah pandangan saya tentang arti menikah dan pesan mbaa, bakal selalu saya ingat.

      Duluu, saya malu banget mau ceritain masalah pelecehan ini mba, takut di judge ini itu. Semoga para lelaki di negara ini berhenti buat memperkosa.





      Delete
  2. Mbak, I feel you
    Sejak SMP aku mempertanyakan kenapa perempuan dan laki-laki itu dikotak-kotakkan? Dimulai dari urusan percintaan deh. Yang menyatakan cinta itu cowok, cewek itu menunggu. Like, why I can do my way? Karena buatku nggak ada bedanya kok mau cewek yang nembak cowok duluan. And I did that when I was junior high school, hahaha..

    Sampai akhirnya di masa sekarang belajar tentang gender dan sesuatu yang bernama konstruksi sosial. Mbak Sovia tadi bilang di part perawan, jangan-jangan ini mitos? Kalau aku mengutip bukunya Yuval Noah Harari, ini semua imajinasi. Orang-orang pendahulu kita membuat sebuah norma yang mengatakan hal A salah dan hal B benar berdasarkan imajinasi mereka. Padahal nggak ada alat ukur pasti kenapa itu bisa dikata salah dan benar.

    Perempuan merokok, so what? perempuan bertato, terus kenapa? Bahkan menilai kesucian perempuan dari keperawanan dengan bukti konkrik berupa selaput dara? I mean like, c'mon society! Kenapa laki-laki tidak kalian pertanyakan kesuciannya? Uuugghh so gemas!

    Aku sempat berpikir sepertinya lebih mudah menjadi laki-laki. Aku akan satu step lebih jauh daripada menjadi perempuan. Karena negara kita merupakan anak kandung patriarki, menjadi laki-laki pasti lebih diuntungkan, belum lagi secara fisik tercipta dengan kekuatan yang lebih daripada perempuan.

    Yang terakhir, I'm so sorry for something bad that happened to you before, sending my virtual hug..

    ReplyDelete
  3. What a deep thought, mbaak. I feel the same way😢

    Dulu saat masih kecil saya gak begitu merasakan adanya patriarki, atau social norms yg seolah mengkotak-kotakan gender dengan tameng agama. Semakin beranjak remaja dan dewasa dimana sudah bisa menilai dan berpikir akan suatu isu, barulah tersadarkan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan ini tidak sepenuhnya diberlakukan sesuai dengan agama, melainkan hanya lahir dari kebiasaan, tradisi serta pemikiran masyarakat yg patriarkis. Sebab meski ada aturan atau teknis yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan di dalam islam pun, seharusnya implikasinya tidak sekejam apa yg dilakukan masyarakat. Saya percaya agama tidak pernah sekalipun mengekang dan membatasi ruang gerak salah satu gender, dan saya percaya pada intinya apa yg kita perbuat selama hidup itu fokus utamanya adalah tindakan kita as human being, bukan sebatas laki-laki dan perempuan. Masalah gender hanya kodrat, dan peran yg menjadikan kemanusiaan kita penuh. Toh kalau agama dijadikan tameng, mengapa ada ayat yg menganjurkan bahwa siapapun hendaknya menuntut ilmu hingga ke negeri China?

    Entahlah kapan kemerdekaan dan perempuan ini bisa berjalan beriringan. Selama orang-orang masih terbelenggu dengan narasi "perempuan itu di bawah" in the matter of social justice, social norms, and so on, kayaknya kita akan selamanya menganut budaya misoginis. Ngomong2 soal misoginis, sangat disayangkan banyak juga perempuan di luar sana yg mengiyakan budaya patriarki itu terhadap sesama perempuan, lagi-lagi dengan tameng agama. Masalahnya cara berdakwah mereka ini bukan didasari dengan kasih sayang dan agama yg sebetulnya, tp dilandasi dengan ego bahwa "kamu tuh sbg perempuan harusnya begini, harus bisa masak supaya suami betah dan menjaga pandangannya dari wanita-wanita di luar sana." Like, what? Korelasinya bisa masak dengan membuat suami betah agar nggak menjaga pandangannya apa? Kenapa lagi-lagi tendensi perselingkuhan suami harus menjadi pressure untuk sang istri? Hadeuh mumet rasanya kalau bicara soal perempuan dan segala opresinya🤦🏻‍♀️

    Anyway i feel sorry for what you've gone through in sexual harassment terms ya mbak, saya tau betul rasanya ada org yg seperti itu karena pernah sekali kena pelecehan seperti ini yg benar2 disentuh salah satu anggota tubuh saya oleh bapak2 nggak waras, pengen tak cabik2 aja rasanya tp saat itu belum mengerti bahwa apa yg dilakukan dia murni sengaja melecehkan😢 Saya sangat berharap semoga segera ada payung hukum yg jelas untuk isu kekerasan seksual, sebab kasus tentang ini bukan lg sesuatu yg bisa dianggap remeh oleh banyak orang.

    Lastly, saya sangat sukaa pake banget tulisan mba ini!😍 Semoga kemerdekaan yg sempat diraih 75 tahun lalu bisa kita capai untuk semua sektor yg belum merasakan hadirnya "merdeka" dalam hidup mereka ya mbak. AAMIIN❤️.

    ReplyDelete
  4. Wah.. Keren banget mbak. Saya terbawa tulisannya mbak sovia lho😍 bener-bener nggak nyadar kalau tulisannya panjang saking menariknya.
    Saya nggak terlalu memperhatikan banyak hal tentang kemerdekaan wanita. Hanya saja saya juga sempat berpikir bahwa hak wanita masih saya dianggap tidak sama dengan pria bahkan setelah ada emansipasi. Kenapa wanita selalu dituntut ini dan itu kenapa kalau kita melakukan sesuatu yang biasanya dilakukan lelaki kok dibilang aneh. Mungkin karena hal ini sudah mengakar di masyarakat jadinya susah ilang dan akan tetap begini jika tidak ada yang berani mengubah.
    Saya berdoa semoga kelak hak kita para wanita bisa benar-benar setara dengan pria. Dan semoga mbak sovia dipertemukan dengan pria yang paham dan sayang sama mbak sovia. Saya yakin sudah disiapkan sama Allah😊

    ReplyDelete
  5. Kak Sovia, tulisannya deep banget. Aku bacanya sampai ngerasa tertohok banget :(
    Sangat sangat disayangkan atas kejadian-kejadian yang menimpa kakak pribadi dan sekitar kakak. Kak Sovia sangat kuat dan pemberani sampai bisa mengungkapkan hal ini ke publik.

    Aku rasa memang di negara yang patriaki, perempuan selalu tertindas, seperti di China dan Korea pun demikian. Bahkan, di China pada jaman dulu, melahirkan anak perempuan itu sangat tidak diinginkan jadi banyak anak bayi perempuan dibunuh atau dibuang gitu aja. Menyedihkan :(
    Di Indonesia juga nggak kalah menyedihkan, karena bayi perempuan tetap diperbolehkan hidup hanya saja selama masa pertumbuhan menjadi dewasa hingga dewasa, selalu banyak cobaan. Yang kalau dipikir memang sangat tidak adil :(
    Kak Sovia, aku turut prihatin atas kejadian-kejadian yang menimpa kakak :(
    Tapi, janganlah sampai kakak mendendam atas perbuatan orang-orang tsb ya.

    Semoga kedepannya, negara ini bisa sesuai dengan harapan para perempuan. Bahwa para perempuan lebih dipandang dan diperlakukan secara adil dan setara dengan laki-laki. Amiin.

    ReplyDelete
  6. Hola Kak Sovia. Salken ya! Rasanya ini pertama kali berkunjung ke sini. Dan tulisan pertama yang kubaca keren sekali. Jadi nagih terus untuk baca tulisan kak Sovia lainnya. Hehehe
    boleh nggak kita high five? Soalnya baru ini aku nemu sesama perempuan yang nggak suka masak. Aku terang-terang ngomong ini ke kawan kampus ya reaksi mereka kebanyakan bakal mengernyit aneh mandangin aku, like wanita nggak mau bisa masak? Uhlala... so what gitu? Kan itu suatu hal yang nggak kusuka. Aku prefer bersih-bersih aja deh. Makanya kepinginan aku dari jaman bocah itu nemu calon pasangan ntar jago masak. Hehehe
    Nah lagi, aku juga sebel banget loh sama orang yang nyamain keperawanan sama harga diri. Orang-orang sekitarku tuh selalu bilang jangan sampai kamu ntar nikah udah nggak ada lagi harganya. Shit! Kenapa juga meletakkan harga seorang wanita hanya pada selapis selaput darahnya. It dosen't make sense banget kan. Ntah lah, jadi perempuan di negara patriarki yang teramat kental benar merepotkan. Menuarakan pemikiranku ini saja secara gamblang di hadapan mereka aku masih belum punya keberanian. Halah jadi menyedihkan kalau dipikir-pikir. At the end, I feet so sad dengan pelecehan Kak Sovia itu. I know exactly that feel. Berkat tulisan Kak Sovia, jadi trigger buatku menuliskan pengalaman pribadi mengenai pelecehan seksual yang pernah kualami. Kurasa sudah saatnya dibeberin. Thx a lot for your deep thought!

    ReplyDelete

Raise Your Words, Not Voice. It's Rain That Grows Flowers, Not Thunder.
-- El Rumi --