Tragedi di Balik Tradisi

by - August 22, 2020


Pic from Pinterest

Tidak tahu kenapa, saya merasa bulan ini overwhelmed banget. Mungkin karena mengurus banyak hal (ahiilaa, soksoan banget sih gue) dan juga banyaknya melakukan perjalanan, ternyata bolak-balik naik pesawat saat pandemi bukanlah ide yang bagus gais, kalau bukan karena terpaksa keadaan, saya mah ogah. 

Saya suka suudzon kalau mau melakukan perjalanan seperti ketika rapid test, saya suka parno, gimana seandainya nanti dokternya salah cek dan tiba-tiba saya dinyatakan reaktif, even saya tahu saya nggak kemana-kemana sebelumnya atau gimana kalau nanti saya tertularnya dalam perjalanan, amit-amit ya Allah. Kemudian juga segala kebijakan pihak bandara untuk memenuhi standar operasional kesehatan yang jujur menurut saya pribadi banyaaak banget minusnya. Ah, sudahlah. Kali ini saya tidak mau cerita tentang perjalanan pandemi dan tetek bengeknya, may be next time, atau malah nggak sama sekali, haha.

Meskipun bulan ini cukup melelahkan namun banyak juga kok momen-momen cihuy yang saya lalui. Seperti berkumpul kembali dengan keluarga di Sumatera Barat misalnya atau berjumpa dengan teman masa sekolah saya dulu. Well, ngomongin tentang Sumatera Barat rasanya kurang afdhol kalau tidak membahas tentang budayanya sekalian. Aseek.

Mungkin kalau mendengar kata Sumatera Barat, hal pertama yang ada di pikiran kamu itu pasti nasi Padang kan? Haha, sebagai informasi saja gais, bahwa suku Minang di Sumbar juga beragam, tidak semua dialeg orang Minang itu sama, pun dengan adat istiadatnya juga ada perbedaan adat istiadat antar suku Minang, mungkin mirip seperti Jawa halus, Jawa kasar, I guess.

Jadi, adat istiadat orang Minang di Padang tidak sama dengan adat orang Minang di Bukittinggi, Batu Sangkar, Tanah Datar, Padang Panjang, Solok and et cetera. Berhubung kedua orang tua saya itu asli keturunan Pariaman, maka kami juga menganut adat istiadat orang Minang Pariaman. Nah, ada yang unik di sini, ketika akan menikah orang Pariaman akan mengadakan prosesi yang namanya “Ma anta tando” atau bahasa Indonesianya itu, mengantar tanda? Idk, how to translate that term properly kedalam bahasa Indonesia, tapi setahu saya itu semacam tradisi di mana pihak perempuan mengantar makanan tertentu, kayak  makanan yang di bawa itu di tentukan, nggak sembarangan, gimana sih ini? Semoga kamu paham gais.

Salah satu makanan yang wajib di bawa itu adalah “Lapek” atau biasa disebut lepat dalam bahasa Indonesia, jenis makanan yang agak kenyal dan dibungkus dengan daun pisang kemudian dikukus dalam proses memasaknya. Dan ketika memasak lapek ini, biasanya dilakukan secara bersama-sama. Jadi, orang tua atau keluarga perempuan yang ingin ma anta tando memberitahukan kepada tetangga kapan acara akan diadakan, maka sehari sebelum acara, para tetangga dan kerabatnya sudah berdatangan untuk membuat lapek bersama-sama. 

Kebetulan sekali yang akan melakukan pernikahan ini adalah teman masa kecil saya, dulu kami sering banget main gundu di halaman rumah nenek saya. Jadi, mau nggak mau ketika si mamak menyuruh saya ikut untuk membuat lapek bersama, lansung saja saya iyakan, karena segan juga, soalnya dia tahu saya lagi pulang kampung. So, di sinilah drama membuat lapek dimulai.

Permasalahannya gais, saya tidak tahu dan tidak pernah membuat lapek ini sebelumnya, mungkin karena saya juga tidak begitu suka kali ya (cara ampuh buat ngeles). Sedangkan dalam perkumpulan emak-emak di Indonesia selalu saja ada pertanyaan introgasi yang dibuka dengan kalimat “Waah, lah gadang anak gadih ko yo buk” (Waah, buk, anak gadisnya udah gede ya) yang kemudian dilanjut dengan “Lah sanang ibuk tu, tingga mangalai se di rumah lai” (Udah enak berarti ya, buk, semua pekerjaan rumah udah ada yang ngerjain).

Mendengar pertanyaan terselubung macam ini, saya cuma bisa tarik nafas sambil senyum-senyum mesum ketika si mamak diam-diam melirik saya, sebelum akhirnya menjawab “Hehe, iya buk, lumayan udah bisa bantu-bantu” hingga kemudian mengalir lah cerita mereka mengenai anak gadis mereka masing-masing. 

Berhubung saya nggak bisa bungkus lapek ini, jadi saya berpikir inilah kesempatan emas buat saya untuk belajar yang ternyata… gagal, haha. Kata si mamak, it’s okay, karena saya masih baru, jadi wajar saja kalau masih belum bisa, doi menawarkan saya untuk sering datang bantu-bantu orang kalau ada acara memasak lainnya. Saya yakin sekali bahwa itu cuma trik, biar saya mau main keluar rumah dan biar saya mau belajar masak. Long story short, karena sayanya nggak bisa-bisa, jadilah saya memutuskan untuk pulang saja, hehe. Dasar lemah. 

Selain tradisi ma anta tando, orang Minang Pariaman juga mempunyai tradisi “Manjalang anak”, manjalang anak maksudnya adalah mengunjungi anak, di mana mertua (dari isteri) berkunjung ke rumah besannya dengan membawa rombongan, biasanya mertua ini juga membawa perlengakapan bayi, uang, makanan, serta kadang bawa sapi juga, atau hewan ternak yang mana digunakan untuk kebutuhan sang bayi.

Lagi-lagi saya belum pernah pergi ke acara semacam ini. So, berhubung kemaren itu si mamak nggak bisa datang di acara manjalang anak ini, sebab harus memasak di rumah karena malamnya kami ada acara syukuran, jadilah doi menyuruh saya untuk menggantikannya, nyuruhnya dengan bahasa yang sadis banget “Lu yang pergi gantin mamak, ya, lagian kalau di rumah lu juga nggak bisa ngapa-ngapain”.

Nggak-bisa-ngapa-ngapa-in.

Saya kesel dengernya, si mamak tuh suka gitu, seolah-seolah di rumah tu saya nggak ngapa-ngapain, padahal kan saya juga mengerjakan pekerjaan perempuan pada umumnya, seperti kemaren saya masak deh kayaknya, walau… yaa gitu. Oke mari kita sudahi kekesalan ini.

Di acara inilah akhirnya saya mendapatkan pengalaman yang sangat cihuy itu gais, yang pas pulangnya saya senyum-senyum sendiri, dan pas nyampe rumah lansung ceritain ke si mamak saking antusiasnya saya.

Jadi seperti yang saya bilang di atas bahwa tradisi manjalang anak ini identik dengan membawa rombongan, nah, karena si tuan rumah yang mengajak, maka tuan rumah pula lah yang menyediakan kendaraan untuk berangkat tersebut. Dan kamu tahu gais, kendaraannya  seperti apa? Jeng…jeng…pakai mobil L300 dong, saya nggak tahu mobil ini lumrahnya di bilang apa, namun yang pasti ini semacam mobil ngangkut barang gitu lho.

Kebetulan sekali saya pergi tidak sendiri, melainkan dengan ponakan saya yang udah kayak teman curhat, jadi dia itu lebih tinggi dari saya, tahu ah, anak jaman sekarang kok cepat banget tingginya ya. Baiklah, pertama kali saya naik mobil itu dan berdiri bersama ibuk-ibuk gossip yang sepanjang jalan emang ghibah mulu, saya sampai heran, apa mulutnya nggak capek kali yak. Gosipnya lengkap banget cuy, udah kayak toko kelontong yang apa aja ada. 

Setelah setengah jam perjalanan, perasaan saya mulai tidak enak, karena semakin lama medan perjalanannya kok semakin menggelisahkan. Fyi gais, di Sumbar itu banyak banget gunung-gunung dan bukit, jadi jangan kaget kalau sewaktu-waktu kamu ke Sumbar, nanti jalannya di atas bukit atau turunannya yang ekstrim-ekstrim. Kalau kamu pernah dengar tentang kelok 44 di Sumbar, kira-kira jalanannya kayak gitu gais.

Satu jam perjalanan masih belum nyampe juga dan saya tambah curiga, ini rumahnya di mana sih, kok nggak nyampe-nyampe ya? 

Akhirnya dua jam lebih perjalanan dengan pakai mobil barang serta ibuk-ibuk yang sibuk ngegosip kami mulai memasuki tanjakkan dengan jalan kecil di tengah-tengah kebun, saya mikirnya “Waah.. bentar lagi nyampe nih” dan ternyata tidak gais, masih lama. Hingga kemudian, ditengah-tengah tanjakkan terjadi peristiwa yang cukup memacu adrenaline, yaitu mobilnya tiba-tiba mundur sendiri dan sontak semua ibuk-ibuk yang ada dalam mobil teriak dan berusaha loncat keluar. Malah ada yang buang dompet dan sendalnya keluar gitu aja, kemudian loncat keluar dari mobil. Sumpah saya nggak berhenti ngakak, masalahnya mereka lagi sibuk ngegosip, tiba-tiba ngacir loncat keluar gitu aja.

Lucu banget, saya nggak pernah ngalamin peristiwa yang begini amat, haha. Sampai akhinya di rumah tujuan pun mereka masih ngedumel “Begini amat kalau udah cinta ya, walau di tengah rimba sekalipun tetap di samperin” dan ibuk-ibu yang lain menimpali “Inilah yang namanya di hati mati, di mato buto” yang saya kurang paham maksudnya apaan, hehe.

Oh ya, setelah mobilnya tiba-tiba mundur, di perjalanan berikutnya mobilnya malah oleng karena rodanya masuk kedalam lubang yang lumayan dalam, pokoknya lucu banget menurut saya. So, instead of teriak-teriak ketakutan saya malah nggak bisa berhenti ketawa, sampai-sampai ponakan saya bilang “Lu aneh banget sih nte, padahal gue takut beneran lho” hahaha.

Dari sini saya mulai paham bahwa ternyata, para ibuk-ibuk di kampung itu identik dengan berita palsu, tapi kepercayaannya pada berita tersebut totally one hundred percent nggak heran, deh, jadinya sama kakak saya yang notabenenya juga ibuk-ibuk ke trigger sama berita hoax di grub WhatsApp keluarga. Mereka juga sempat ngumpat-ngumpatin pak Jokowi terkait banyaknya berita tidak bertanggung jawab berseliweran di internet, miris dan lucu sih di waktu bersamaan.

Sayangnya, saya tidak ahli dalam menceritakan ulang, jadi kayaknya tulisan ini tidak cukup mewakili keseruan perjalanan itu. Haha. Bodo lah, yang penting saya sudah menuliskannya sebagai pengingat.

Jadi, inilah momen random yang cihuy banget yang saya alami ketika menghabiskan liburan di kampung kemaren, well, sebenarnya saya nggak tahu mau nutup postingan ini gimana dan saya juga bingung mau ngasih judulnya apa baiklah gais, see ya!

You May Also Like

10 comments