A LITTLE STORY THAT WE CALLED LILIK
Setelah berulang kali menghapus kalimat pembuka di postingan ini, akhirnya saya memutuskan untuk bodo amat. Well, tulisan ini diketik dalam keadaan mellow banget dan dengan otak buntu, namun tetap saya paksa untuk menulis, mungkin karena didominasi banyak hal seperti hujan, kemudian sendiri di ruang tamu, dan lagi galau, cause if wanna know guys, I’m no longer a college student, alias pengangguran. Idiih, nggak enak banget sih ini pembukaan.
Baiklah , mungkin diantara kamu yang pernah beberapa kali main ke blog ini (kegeeran), sudah tidak asing lagi dengan duo motivation absurd yang lumayan sering saya ceritakan di sini dan mungkin sekarang kamu juga sudah bisa menebak tulisan ini tentang siapa. Yep, benar sekali, dilihat dari judulnya saja sudah ketahuan. Lilik. Seseorang yang banyak sekali memberi energi positif pada diri saya, orang asing yang memaksa mengambil tempat penting di hati saya. Terdengar cliché memang.
Saya lupa bagaimana persisnya saya dan Lilik bisa sedekat ini, tiba-tiba kami sudah klop aja, mungkin karena kami sama-sama absurd kali yak. Sebenarnya Lilik itu junior saya, kami beda fakultas yang secara otomatis juga beda jurusan, ya iyalah. Dulu itu saya suka kepedean dengan bilang sama Lilik, bahwa nanti dia jangan sedih kalau saya tamat dan pergi duluan.
Namun, namanya hidup siapa yang tahu ya, bahwa ternyata saya dan Lilik selesainya barengan haha (makan tuh kepedean), karena satu dan lain hal (dibaca procrastinate) saya butuh dua semester untuk menyelesaikan skripsi saya. Lama bener emang, etapi sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi saya itu sengaja nungguin Lilik, karena saya emang gituuu, suka nggak tegaan. Ahilaaa, NGELES TERUS WOY!
Oke, lansung saja gais, jadi ceritanya waktu mau beres-beres barang untuk balik kampung kemaren, Lilik memberi saya sebuah kado yang saya beri nama Sparkplug, alasannya? Ya, nggak ada haha. Biar kedengaran keren aja kayak Om Gerald Butler di “Olympus Has Fallen”, mungkin kalau dilihat dari sisi materi kado Lilik ini nggak ada apa-apanya, namun siapa sangka bahwa yang “nggak ada apa-apanya” inilah yang membuat saya tersenyum dan menangis secara bersamaan.
Sparkplug ini berisi tentang fakta-fakta absurd khas Lilik banget, serta tulisan tentang semua hal yang dulu kami lakukan bersama-sama.
Tidak tahu kenapa ketika membaca tulisan itu, spontan saja ingatan saya ditarik paksa kebelakang, kerennya itu flashback, ternyata Lilik benar-benar ahli dalam memenjarakan kenangan dan membuat saya menolak melupakan semua kegiatan yang kami lakukan dahulu. Saya tidak akan menceritakan semuanya, cuma beberapa saja, selebihnya biarkanlah menjadi milik kami berdua, untuk bahan dikenang kembali nanti di usia senja. Yihaa.
Sama-sama Telat Nge-Blog
Tepatnya, kami yang baru terbuka pikirannya tentang blog di tahun 2019, telat bener, yaa salam. Selama ini kemana aja wooy? Haha. Saya ingat sekali, dulu tujuan kami nge-blog itu biar produktif, biar banyak baca, biar banyak menulis, dan biar, biar lainnya, yang ujung-ujungnya benar-benar di biarin, alias itu blog nggak diapa-apain. Kalau kamu belum tahu gais, dulunya nama blog ini lebih alay dari yang sekarang. Huahaha.
Jadi, untuk menghindari resiko saya terkena rajam, saya tidak akan menyebutkannya, biarlah dark secret ini saya simpan sampai saya mati dan semoga saja tidak menjadi penambah timbangan amal buruk saya di padang masyar kelak. Sedangkan alamat blog Lilik masih bisa dikatakan normal, tidak ada unsur-unsur menggelikan dan pengen banting orang setelah baca blognya. Lilik yang konsisten mengisi blognya dengan curhatan pribadi dan tidak banyak juga yang mengetahui alamat blognya, palingan cuman saya, Lilik, dan Tuhan. Haha, mungkin tujuannya memang untuk e-diary.
Dari Nongkrong di Danau Kampus Sampai Nge-bakso Depan SKA
Hmm… jadi sedih lagi kalau ingat moment yang sering kita lakuin bareng-bareng Lik. Jadi, kami berdua sukaaaa banget nongkrong di danau kampus sambil dengerin anak-anak teknik elektro main gitar. Berbekal gorengan dan minuman cincau maka mengalirlah cerita-cerita masa lalu, atau sekedar curhat.
Anehnya, danau ini seperti mempunyai kekuatan magic gitu, soalnya dia bisa membuat kita mengungkapkan sesuatu yang sebelumnya beraaat banget untuk diungkapin. Pokoknya kalau sudah nongkrong di sana, cerita kami mengalir begitu saja. Semuanya.
Kemudian kami juga pernah makan bakso di tepi jalan, persis di depan sebuah mall Pekanbaru, jadi waktu itu sehabis pulang dari Gramed, kami memutuskan untuk makan bakso di sana, karena banyak yang bilang, bahwa bakso di sana terkenal enak. Saya ingat sekali sewaktu menunggu pesanan datang Lilik pernah bilang:
“Kalau ketahuan bapakku kita makan di sini, bisa habis kita kak”
“Emang kenapa gitu Lik?”
“Soalnya makan di sini kan kotor, di tepi jalan”
“Ouuh…” *respon yang menyebalkan memang.
Tapi, etapi walau takut di damprat bapak Lilik kalau ketahuan makan bakso di tepi jalan, kami tetap aja makan bakso untuk kedua kalinya di sana. Habisnya, baksonya beneran enak, sih. Tepatnya, sewaktu kami pulang dari Riau Expo, yang ternyata nggak se “wah” yang kami kira, kami melampiaskan kekecewaan itu untuk beli bakso mas-mas tepi jalan dan pas pulangnya saya khilaf ngasih uang lima puluh ribu ke abang parkiran, yang Alhamdulillah dibalikin sama si abangnya. Terimakasih kepada semua orang jujur on this planet.
Drama Cuci Muka dan Cuci Baju
Sama pada perempuan pada umumnya kami berdua ini penuh drama, salah satunya adalah ketika mau pergi. Lilik selaluuu protes, katanya durasi saya mencuci muka sama dengan lamanya dia mandi. See? Drama banget kan dia, yang nggak mungkin lah selama itu. So, berhubung saya ini smart people, tentu saja saya tidak menelan mentah-mentah omongan Lilik, saya survey kepada teman lain yang pernah sekamar dan berbagi kamar mandi dengan saya dan jawaban mereka semua…ya, sama.
Akhirnya saya hanya bisa menyimpulkan bahwa mandi mereka yang kecepetan, karena nggak terima mandinya cepet, jadi mereka mencari kambing hitam untuk disalahkan, apalagi kalau bukan bilang, “Durasi mu cuci muka, sama dengan durasi aku mandi”. Haduuh gais, taktiknya sudah kebaca kok.
Kemudian beralih kepada drama nge-babu alias cuci baju dan beres-beres. Berhubung jemuran di kos itu sedikit sedangkan baju para membernya itu banyak, jadi kami harus bisa menyesuaikan jadwal nyuci biar semua kebagian jatah jemur. Nah, karena saya ini berjiwa competitive, jadilah setiap Lilik rendam baju, saya diam-diam balik ke kamar sendiri dan mencuci baju dengan gesit dan ceria. Haha.
Emang, jiwa dengki competitive emang gitu. So, ketika nanti Lilik mau jemur baju, dia dikejutkan dengan pemandangan baju saya yang sudah bergelantungan manja di tali jemuran. Biasanya reaksi Lilik itu kayak gini:
“Kak Sopiiiii….ihh memang lah ya”
“Apa sih Lik, teriak-teriak nggak sopan loh”
“Aku duluan tadi nyuci baju ya”
“Tapi kan aku yang duluan jemur, siapa cepat dia dapat”
Kalau sudah begitu biasanya Lilik cuman bisa ngomel-ngomel nggak jelas, jadi nggak perlu didengerin. Tidak tahu kenapa, kami suka sekali pacu-pacuan kalau mau nyuci baju dan pemenangnya itu selalu ditentukan oleh baju siapa yang paling dulu berada di tali jemuran. Absurd sekali memang. Padahal kan tidak ada gunanya juga.
Kami berdua juga suka mimpi nanti bakal jalan-jalan bareng, terakhir cuma Lilik dan Tari yang berhasil nge-trip bareng member kos lainnya. Kebetulan waktu saya lagi balik ke Sumatera Barat, karena kakak saya mau menikah. Dan ketika saya tanya kenapa nggak nungguin saya, alasan mereka nyesek banget.
Lilik bilang kalau seandainya ada saya maka, acara nge-trip itu bakal gagal total, karena menurut dia saya banyak maunya dan suka mengeluh, suka parno yang nanti berefek kepada keputusan mereka. Sedangkan Tari bilang saya itu manja dan jijik-an jadi tidak cocok diajak nge-trip bareng.
Dari sana, lagi-lagi saya dapat menyimpulkan bahwa, selama empat tahun menjalin pertemanan ini, mereka masih belum mengenal saya sepenuhnya. Mereka nggak tahu aja, kalau saya ini adalah the most independent woman on earth, jadi mengeluh dalam perjalanan bukan tipe saya. Palingan saya cuman curhat, karena setahu saya fungsi sahabat itu salah satunya adalah meringankan beban dengan mau mendengarkan curahan hati sahabat lainnya. Jadi, nggak ada yang salah dong ya.
Well, gais I think enough for today (udah kayak mengakhiri presentasi makalah ya, haha), oke, di penghujung cerita entah berantah ini, izinkan saya membeberkan sebuah fun fact tentang Lilik, just in case kalau seandainya nanti kamu jumpa sama Lilik, somewhere, somehow gitu, karena sekali lagi hidup siapa yang tahu ya, bisa saja di lima, tujuh, atau sepuluh tahun yang akan datang secara ajaib kamu jumpa sama Lilik gais.
Ketika stress Lilik akan mengerjakan soal Matematika yang membuat saya juga ikutan stress. Jadi, noted it. Usahakan untuk tidak sekamar dengan Lilik, karena bagi Lilik, berkutat dengan soal-soal Matematika adalah cara untuk membuat dia tetap waras. Asiik.
Ketika stress Lilik akan mengerjakan soal Matematika yang membuat saya juga ikutan stress. Jadi, noted it. Usahakan untuk tidak sekamar dengan Lilik, karena bagi Lilik, berkutat dengan soal-soal Matematika adalah cara untuk membuat dia tetap waras. Asiik.
Kepada Lilik, terimakasih atas kenangan-kenangan indahnya, aku belajar cara mengendalikan emosi dan bagaimana cara agar tidak gampang marah dari dirimu Lik. Terimakasih sudah mau berteman sama makhluk cuek yang suka emosian kayak aku. Persis seperti yang Ika bilang, “Kok bisa mu dekat sama kak Sovi, Lik? Dia kan cuek banget”.
9 comments