Memfiksikan Fakta: Dan Brown ‒Origin

by - August 12, 2020



Origin, mungkin bagi kamu yang penggila Langdon series tidak asing dengan buku ini. Namun, bagi saya yang berusaha mencintai novel thriller mystery macam ini harus berjuang menyelesaikan lembar demi lembarnya, karena saya kurang suka dengan novel yang menyuruh pembacanya untuk menebak-nebak begitu, bagi saya membaca ya membaca aja, tidak usah main riddle begitu. Haha. Ya, saya memang sepemalas itu, bahkan ini adalah novel bergenre thriller, mystery and crime pertama yang saya baca. Dan saya menyesal kenapa tidak membaca ini dari dulu, padahal sudah lama terletak begitu saja di rumah.

Novel ini di beli kakak saya dua tahun lalu, tapi saya tidak pernah tertarik untuk membacanya, karena di pikiran saya saat itu, filmnya saja sudah bikin tegang apalagi novelnya. Ya, Sembilan tahun yang lalu saya pernah menonton salah satu karya Dan Brown yang diangkat jadi film “The Da Vinci Code”.

Origin sendiri adalah seri ke-lima dari Robert Langdon setelah Angels and Demons, The Da Vinci Code, Lost Symbol, dan Inferno. Novel ini berlatar belakang di Spanyol dan saya sangat kagum kepada Dan Brown, karena melalui buku ini, dia berhasil mengajak saya jalan-jalan ke Museum Guggenheim di Bilbao, Katedral Sagrada Familia di Barcelona, dan di kediaman terakhir Antoni Gaudi, Casa Mila. Dan dalam kepala saya setelah banyak ini adalah “Spanyol wait for me ya, gue nabung dulu”. Ternyata oh, ternyata membaca novel misteri tidaklah seburuk itu. 

Novel ini dibuka dengan prolog seorang ilmuan komputer yang futuris dan jenius, Edmond Kirsch yang melakukan pertemuan rahasia dengan tiga pemuka agama yang berpengaruh di dunia yaitu Uskup Antonio Valdespino (Kristen), Syed al-Fadl (Islam), dan Rabi Yehuda Koves (Yahudi) di Biara Montserrat, Catalonia, Spanyol.

Dalam pertemuannya itu, seorang futuris asal Amerika ini menampilkan versi singkat dari hasil temuannya untuk melihat reaksi para pemuka agama tersebut sebelum ia umumkan di depan publik. Ia juga mengklaim bahwa temuannya ini serupa dengan temuan Copernicus pada masanya di mana sains berhasil menggedor pintu gereja saat itu. Benar saja, sesuai dugaan Kirsch, paparan singkat itu berhasil membuat ketiga pemuka agama tersebut terguncang dan berada dalam jurang dilemma yang besar.

Dan aku hendak melontarkan tombak menyala ke dalam sarang lebah

Baiklah, sebelum melanjutkan tulisan ini, let’s to be quite honest that I’m not good enough at reviewing something either books or movies, hehe. Jadi, maafkan jika review ala-ala ini tidak membuat kamu tertarik untuk membaca bukunya setelahnya gais dan kepada om Brown maaf juga ya (sambil sungkem). Oke, lanjut.

Edmond Kirsch yang seorang ateis percaya bahwa agama hanya diciptakan sebagai dalih dari ketidak mampuan otak manusia menerima kekacauan, ia menganalogikan bahwa otak manusia sama dengan sebuah komputer besar, dimana setiap harinya otak kita menerima berbagai macam informasi seperti bahasa, lagu, music, rasa cokelat, kemudian menginterpretasikannya dan ketika otak tidak sanggup dalam menginterpretasikan sebuah informasi, maka kita butuh wadah untuk menampungnya agar kita tidak kacau dan wadah tersebut adalah agama. 

Contohnya disini adalah dua pertanyaan fundamental tentang eksistensi manusia, yaitu “Dari mana asal kita? Dan kemana kita akan pergi?”. Jadi, ketika otak tidak mampu menjawabnya, kita akan menyerahkannya kepada agama untuk menghindari kekacauan. Maka, muncul lah istilah Tuhan dan Dewa-dewa sebagai jawaban dari pertanyaan yang pertama, kemudian disusul dengan istilah surga, neraka untuk menjawab pertanyaan selanjutnya.

Jujur, di sini Edmond Kirsch sangat keren dengan presentasinya untuk membujuk para audience agar percaya bahwa agama hanya menekan kreatifitas para pemeluknya.

Konflik di novel ini muncul di awal bab dua puluh satu, di mana Edmond Krisch terbunuh di atas podium dalam presentasinya dengan peluru bersarang di kening tepat beberapa menit sebelum hasil temuannya diumumkan. Dan disinilah teka-teki dimulai. Siapa yang membunuh Edmond Kirsch? Dan apa hasil temuan Edmond Kirsch sebenarnya?

Oh ya, kayaknya menampilkan simbol-simbol adalah ciri khas dari Langdon series deh, soalnya seingat saya waktu nonton The Davinci Code dulu, saya juga disuguhi simbol-simbol yang harus dipecahkan professor Langdon dalam mencari petunjuk.

Disini Dan Brown sangat ahli dalam menggiring opini publik tentang siapa pembunuh Edmond Kirsch sesungguhnya, gregetan deh pokoknya. Pikiran pembaca berhasil dibolak-balek, kayak korban friend zone, kakak-adekaan. Haha. SERIUS DONG WOY, REVIEW BUKU LOH INI! Oke fokus.

Setelah kematian Edmond Kirsch, banyak sekali teori-teori konspirasi yang bermunculan dan menebak-nebak siapa yang membunuh Kirsch, teori pertama itu adalah Edmond dibunuh oleh anggota kerajaan yaitu Pangeran Julian yang juga merangkap tunangan Ambra Vidal seorang direktur dari Museum Guggeinheim, tempat di mana Kirsch melakukan presentasi akbarnya. Saya pribadi berpendapat bahwa ternyata teori konspirasi selalu berhasil menempatkan dirinya sebagai pusat perhatian di tengah-tengah sebuah polemik, serumit apapun itu. Perhatikan saja, mulai dari penyangkalan Holocaust, terbunuhnya John F. Kennedy, bahkan sampai kepada konspirasi virus Korona.

Kemudian gais, bagi kamu yang tidak terlalu tahu tentang seni dan arsitektur, di novel ini banyak muncul istilah seni dan membahas tentang arsitektur, that’s why I said saya mau ke Spanyol, saking bagusnya Dan Brown mendeskripsikan tentang bangunan-bangunan yang ada di sana. 

Novel ini didominasi oleh bagaimana permainan kucing-kucingan yang dilakukan oleh profesor Langdon dan Ambra Vidal untuk mengungkap apa isi temuan Edmond Kirsch sekaligus membersihkan nama Langdon setelah secara tiba-tiba pihak kerajaan menyatakan Landon telah menculik calon ratu Spanyol, Ambra Vidal.

Seperti yang saya ungkapan di atas bahwa novel ini juga membahas seni dan arsitektur, maka tokoh-tokoh ternama seperti Winston Churchill, William Blake, dan Antoni Gaudi banyak disebutkan di sini.

Menurut saya pribadi novel ini ending-nya plot twist banget sih, dimana kamu hanya benar-benar menebak siapa pembunuhnya itu kalau membaca sampai kelar. Pokoknya om Brown lihai sekali membuat tebakan-tebakan kita keliru dan saat ending cerita baru kemudian kita bisa teriak “Huaaaa…. Bangsad banget siih” haha. Dan ternyata clue-nya itu ada ditengah-tengah cerita kalau kamu jeli dan jenius bakalan lansung “ngeh” deh kayaknya. This is the clue: Sejarah akan bermurah hati padaku, karena aku berniat menuliskannya sendiri. Semoga nggak spoiler, haha.

Oke, deh gais sekian dulu review buku yang nggak review-review amat ini, semoga kamu tertarik untuk membaca. Please, buat yang sudah baca what do you think about it? Oh ya, di sini saya setuju banget sama pemikirannya William Blake yaitu: 

“The dark religions are departed and sweet science reigns”.  Bahwa agama mempunyai dua rasa‒agama yang gelap dan dogmatis menekan pemikiran kreatif, kemudian agama yang terang dan luas yang mendukung instropeksi dan kreativitas (Origin, hal. 506).



You May Also Like

2 comments