• Home
  • About
Powered by Blogger.

A Dreamer


Pic from Pinterest

Postingan kali ini terinspirasi dari film dokumenter yang ditayangkan oleh HBO pada awal tahun 2019 lalu. Film dokumenter yang berjudul "I love you, Now die: The commonwealth V. Michelle Carter" ini, adalah bukti nyata lainnya dari kata-kata dapat membunuh seseorang. Secara keseluruhan film ini bercerita tentang bagaimana sosok Michelle meyakinkan sang pacar agar memantapkan hatinya untuk membunuh dirinya sendiri. 

Jika biasanya seseorang akan mengakhiri hidupnya karena lelah menerima hate speech dari orang lain, seperti yang dialami Sully dan banyak artis lainnya. Maka, berbeda dengan Conrad, dia mengakhiri hidupnya setelah berulang kali diyakinkan oleh kekasihnya sendiri. Michelle mengaku sangat mencintai Conrad dan ia ingin sang pacar bisa berbahagia di surga, “Heaven needs a hero” tulisnya, untuk membujuk Conrad. 

Meski pada akhirnya diketahui bahwa Conrad memang mempunyai mental illness, yaitu depresi akut yang menyebabkan ia selalu berpikiran untuk mengakhiri hidupnya dan beberapa kali sempat melakukan percobaan bunuh diri. Namun, yang menjadi permasalahan bagi  keluarga Conrad adalah, bahwa setiap Conrad ragu menjalankan aksinya, Michelle selalu datang untuk membujuk dan meyakinkan Conrad bahwa jalan yang dipilihnya sudah benar. 

Kejadian ini mengingatkan saya tentang Educational Psychology yang dulu pernah saya pelajari, sewaktu di kampus.  Salah satunya adalah seberapa parah kata-kata bisa mempengaruhi psikologi seseorang. Sejatinya kata-kata bisa mempengaruhi seseorang dalam bertindak, jurus seperti inilah yang banyak digunakan oleh para motivator untuk membujuk dan mempengaruhi pemikiran para audience-nya. Jangankan motivator perkataan orang-orang terdekat kita, seperti para sahabat saja bisa mempengaruhi tindakan kita, apa lagi perkataan tetangga, euh, tahu sendiri kan gimana? haha.

Dalam mendidik seorang anak pun kita selalu diajarkan untuk bertutur kata lembut dan disarankan untuk menghindari menggunakan kata “Jangan”  ketika melarang si bocil. Sulit memang. Saya pribadi berpendapat, bahwa ada banyak hal yang bisa kita pelajari sebagai young adult dari film ini, apalagi bagi pasangan yang memutuskan untuk punya anak, seperti bagaimana cara membangun komunikasi dan kenyamanan seorang anak untuk bisa bersifat terbuka. Kenyamanan yang kita bangun bagaimana kelak si anak juga bisa bercerita apa saja pada kita layaknya seorang sahabat. Haduuh, sok expert banget sih gue.

Di sini Conrad diceritakan sangat depresi dengan keadaan rumah tangga kedua orangtuanya. Disebuah video singkat yang ditemukan oleh polisi dalam laptopnya, Conrad bercerita bahwa dia begitu mencemaskan masa depannya dan tak jarang menganggap dirinya useless. Meski diceritakan bahwa Conrad sangat pintar dan berprestasi, namun hal itu tidak membuatnya cukup percaya diri, bahkan dia juga mendapat beasiswa untuk melanjutkan studinya ke jenjang kuliah. Kurang berprestasi apa coba, si Conrad. 

Dia juga bercerita bahwa ada banyak banget suara di kepalanya yang menyuruhnya untuk mengakhiri hidupnya. Sebenarnya saya paham sih kenapa Conrad merasa tidak confident dengan dirinya sendiri, karena saya dulu juga begitu, bahkan saya sempat gap year dulu baru kemudian akhirnya lanjut kuliah, karena perceraian kedua orangtua saya membuat saya malu menghadapi dunia. Kalau dipikirkan lagi sekarang, tindakan saya saat itu terdengar berlebihan memang, tapi balik lagi I was a teenager, saya hanya tidak tahu bagaimana bersikap.

Selain menemukan video curhatan Conrad, polisi juga menemukan sebuah catatan bagaimana tidak sehatnya hubungan Conrad dengan ayahnya. Dicatatan itu dituliskan bahwa, sang ayah pernah memukulinya habis-habisan hanya karena masalah sepele.

"Told Dad I would put pan of mac and cheese away after commercial of baseball game.  He said do it now. I said no I will do it after commercial. He punched me repeatedly and pinned me down. I couldn’t get up. 5-10 punches to face. His girlfriend said I was a piece of shit. I left and went to neighbor". 

See? Segitunya bapaknya mukulin dia cuman gara-gara wajan macaroni, kalau saya pribadi bilangnya bapaknya ini perlu dirukyah deh, brainless bener, sumpah. Di sini saya berpendapat bahwa banyak banget pasangan yang sudah menikah nggak melakukan konseling dulu sebelum punya anak, terdengar sotoy memang. 

Nggak tahu kenapa saya mikirnya ini tuh penting banget mengetahui mental kita gimana sebelum memutuskan untuk punya anak, apakah kita beneran siap kekurangan waktu dan mengorbankan banyak hal. Saya salut banget sih sama orang-orang di luar sana yang bener-bener memahami bahwa mempunyai anak bukan hanya sekedar pengin punya anak aja, sekedar menghindari omongan orang aja, ada tanggung jawab yang besar banget di sana. Dan ketika punya anak pun, memang karena mereka sudah siap.

Hal ini mengingatkan saya tentang video singkat yang pernah saya tonton di sosmed, bahwa ada seorang bocah yang nanya sama mamanya, “Ma, hal besar apa yang mama korbankan ketika memutuskan untuk melahirkanku? Dan apakah mama menyesalinya?”

Nggak enak banget pasti rasanya jika ditanyai hal ini, jika kita benar-benar belum siap  secara fisik dan mental. Oke, maafkan kayaknya saya memang sudah terlalu sotoy deh. Baiklah mari kita balik lagi ke Conrad.

Setelah penayangan film ini, banyak sekali argumen netizen yang memojokan Michelle. Menyebutnya sebagai monster mengerikanlah, nggak punya hatilah, ya, seperti biasa bahwa jika berhadapan sama kesalahan orang, kita mendadak menjadi manusia paling suci dan merasa paling berhak menghakimi. Mereka beranggapan bahwa ini sepenuhnya kesalahan Michelle.

While, saya sendiri beranggapan bahwa orangtua Conrad juga berperan dalam kasus ini, di film bagian kedua Conrad sempat curhat kepada Michelle bahwa ibunya sudah melihat laptopnya yang berisi berbagai metode bunuh diri yang painless, yang sudah dipersiapkan Conrad untuk mendukung rencananya. Namun anehnya, sang ibu diam aja dan  nggak respon apa-apa, padahal Conrad sendiri melihat ibunya sempat membaca artikel-artikel tersebut.

Belakangan juga diketahui bahwa Michelle juga mengidap depresi, pengacaranya sempat membela Michelle dengan dalih, bahwa Michelle dalam pengaruh obat dan halusinasi. Saya tidak mendukung tindakan Michelle yang menyemangati pacarnya untuk bunuh diri berulang kali, karena saya paham dengan jiwa labil anak enam belas tahun (sok-soan banget sih woy, haha) ditambah lagi hidup di Amerika kayaknya extreme banget deh. Soalnya saya pernah nonton video youtube Radit di mana Boy William pernah cerita tentang susahnya jadi anak SMA di USA. Diperkuat sama curhatan influencer favorit saya Subhi Taha asal Texas, bagaimana dia menceritakan susahnya buat punya teman di Senior High School.

Saya tidak membenarkan tindakan Michelle di sini, karena setahu saya, membujuk orang lain untuk bunuh diri, bukanlah sebuah akhlak yang terpuji. Namun, peran orangtua Conrad  juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Ya, memang sebagai orang tua kadang mereka tidak bisa sepenuhnya mengontrol dengan siapa saja anaknya bergaul diluar sana, cuman karena kurangnya chemistry antara Conrad dan orangtanya yang menyebabkan dia tidak terbuka. 

Bahkan, saya sempat aneh melihat reaksi Lyn ibunya Conrad ketika berhasil membaca koleksi artikel anaknya yang berhubungan dengan suicide, hingga akhirnya Conrad benar-benar menerapkan hal itu saat bunuh diri, di mana dia menghirup karbon monoksida diruangan tertutup. Seharusnya sih, ibu Conrad aware, apalagi si anak sempat beberapa kali dirawat dirumah sakit karena gagal dalam melakukan bunuh diri. Tapi balik lagi, itu hanya pandangan pribadi saya saja, karena bagaimanapun saya tidak bisa judge karena tidak tahu persisnya seperti apa.

Kesalahan fatal Michelle yang tidak bisa dimaafkan di sini adalah ketika dia menyuruh sang pacar kembali masuk kedalam mobil terkunci yang penuh gas karbon monoksida, di mana saat itu Conrad sempat takut dan ingin mengagalkan aksi bunuh dirinya.

Kemudian masalah penayangan film ini, rasanya HBO kurang tepat, karena bagaimanapun masa depan Michelle masih panjang dia masih muda. Penayangan film dokumenter tentang dirinya saya rasa akan semakin membunuh kepercayaan dirinya, apalagi dia mengalami kesulitan dalam mencari teman. Sampai film documenter ini rilis pun pihak Michelle tetap menolak untuk terlibat. Entahlah, namanya juga dunia hiburan, saya tidak paham bagaimana aturan mainnya.

Banyak banget sih yang saya pelajari dari kasus ini, terlepas dari apapun maksud HBO dari merilis film ini, semoga para penonton bisa mengambil sisi positive-nya saja tanpa menghakimi Michelle, karena jujur saya kasihan juga sama dia, ya walaupun dia juga salah. Tidak ada pembenaran dari tindakan menghilangkan nyawa orang lain. Baiklah kayaknya segini aja deh, bagi udah nonton film ini, let me know what you think about it, guys. See ya!

Share
Tweet
Pin
Share
12 comments

Pic from Pinterest

Hi gais! (sok asik bener sih gue) sebenarnya beberapa waktu ini saya menulis banyak hal dan semuanya itu tentang kegelisahan pribadi, alias curhat. Semenjak jadi pengangguran I really don’t know what to do, kayak banyak banget kecemasan-kecemasan tersendiri yang saya yakin dialami sama semua orang yang baru lulus.

Jadi, kadang untuk lari dari otak saya yang suka mikir yang iya-iya, saya mulai sering buka youtube lagi, kalau biasanya saya baca-baca, sekarang pikiran liar saya sudah nggak mempan lagi dialihkan dengan bacaan. Biasanya kalau nonton youtube itu saya suka channel yang bahasin social commentary kayak Tiffany Ferguson, Chesaleigh, dan MarinaShutUp (si Chesaleigh dan Marina ini saya baru jumpa, belakangan). Oh, iya Gitasav juga atau channel-channel yang membandingkan perspektif atau opini orang lain kayak video-video singkat di Jubilee atau CUT. Kalau lagi malas mikir saya nontonnya Steve Harvey dan James Cordon, kalau lebih malas lagi saya nontonin dance choreography di 1 Million atau nyanyi-nyanyi nggak jelas, kalau lebih malas… e buset dah banyak bener.

Jadi pas nge-youtube kemaren saya sempat nonton video singkat yang ada di ODG dan Creativox. Ada satu video di sana yang membuat saya spontan bilang “O, iya juga, ya”, video pertama itu berjudul “If you could go back when you were 16, will you go down the same path” panjang bener emang, haha. Jadi secara general video ini bercerita tentang perbandingan dari kepercayaan diri seseorang dari usia delapan, dua belas, enam belas, dan dua puluh enam tahun. Menarik sih menurut saya, di sini juga diperlihatkan tingkat permasalahan antar usia tersebut. Ternyata setelah dewasa masalah kita kadang sesederhana ingin tidur nyenyak di malam hari yang justru terdengar aneh bagi anak usia delapan, dua belas, dan enam belas tahun. Nonton ini saya jadi berasa baca diary sendiri sih, bisa membandingkan emosi saya yang sekarang dengan waktu saya remaja dulu. 

Kemudian di tengah-tengah video seorang anak bertanya, melihat sebegitu sederhananya keinginan seorang young adult ini, di mana dia hanya ingin bisa tidur nyenyak dan tidak merasa kesepian di malam hari, hal ini adalah efek tidak lansung yang ditimbulkan oleh profesinya saat ini.

“If you could go back when you were 16, will you go down the same path?”

Deep banget sih menurut saya, bagi orang yang sudah menekuni pekerjaannya dari lama, soalnya young adult yang ditanya di sini adalah penyanyi Korea bernama Lee He, Lee Hi? I really forget her name, tapi yang pasti namanya bukan Lee HEY!!! Karena itu terkesan seperti neriakin orang (berusaha melucu). Jadi, si Lee He, Lee… ya Allah siapa sih namanya? Oke, saya buka youtube dulu.

Oke gais, Lee Hi ini, yep namanya adalah Lee Hi. Dia debut jadi penyanyi pada usia enam belas tahun, which is itu masih muda banget menurut saya, tapi kalau di Korea kayaknya nggak deh, dilihat dari begitu ketatnya persaingan antar dunia entertain di sana. Untungnya, Lee Hi ini, nggak menyesal sama sekali dan saat ditanya apakah dia akan mengambil jalan yang sama jika waktu bisa di putar kembali pada saat dia masih berumur enam belas. Dia bilang akan tetap mengambil jalan yang sama. Yak, iyalah, orang segitu susahnya kok buat jadi artis di negeri Ginseng tersebut.

Nah, yang menjadi buah pemikiran bagi saya pribadi, bukan masalah milih pekerjaan yang sama seperti pertanyaan yang ditanyakan kepada Lee Hi di atas. Yakali milih kerja woy! Dapat aja udah syukur, astaghfirullah, nggak boleh suudzon Sov, lu pasti kerja kok, hahaha. Yang menjadi pikiran bagi saya adalah ketika pertanyaannya dimodifikasi sedikit menjadi:

“If you could go back when you were 16, what would you like to change?”

Atau simpelnya, jika waktu bisa diputar hal apa yang ingin saya rubah? Jujur, satu-satunya yang saya sesali dari masa remaja saya adalah tidak banyak membaca, sekarang saya melihat sendiri betapa geblek dan ketinggalan informasinya saya. Dulu itu dunia saya cuman K-Pop dan pas kuliah pun juga nggak banyak baca. Saya baca sih, cuman nggak banyak. Sekarang saya mulai baca-baca lagi buku tentang perempuan dan self improvement. Makanya saya suka merasa kagum dan digampar secara bersamaan, ketika berjumpa seseorang yang lebih muda dari saya dan buku yang udah dia baca sudah buanyaak. Saya suka mikir it would be a different story kayaknya kalau saya punya banyak pengetahuan yang mungkin saja memudahkan saya dalam banyak hal, salah satunya pasti saya nggak bakal gampang minderan.

E, tapi setelah dipikir lagi, apa iya ceritanya bakal beda kalau seandainya saya banyak tahu dari buku-buku yang saya baca? Bisa jadi kan, saya jadi manusia songong nan egois yang nggak mau dengerin pendapat orang lain, karena merasa paling tahu. Pasti saya jadi manusia sok sibuk dan nggak mau nge-blog, berhubung salah satu alasan blog ini dibuat karena emang nggak ada kerjaan dan biar bisa curhat. Hahaha. Kayaknya emang udah paling bener deh, dulu itu saya jadi K-Poper aja dan baru nyeselnya sekarang, karena sekarang kayaknya saya sudah cukup dewasa dalam bertindak apalagi berkaitan sama pengetahuan. Aeelaa, selalu ada seribu satu cara buat ngeles. Hahaha. 

Oke lanjut kepada video singkat yang kedua dari Creativox, fyi gais, video di Creativox ini rada ngaco, jadi buat kamu yang nggak terlalu terbuka pasti bakalan nggak nyaman, kalau saya sendiri enjoy aja sih, hehe. Jadi ada sebuah video di sini yang menanyakan tentang orang pertama yang ingin dimintai maaf. 

“Kalau lo mau minta maaf saat ini, lo mau minta maaf sama siapa aja?”

Pertama kali baca ini orang pertama yang muncul di kepala saya adalah diri sendiri, nggak tahu kenapa, instead of mikirin orang tua, malah terbayangnya wajah sendiri. Mungkin karena sebegitu seringnya saya nganjingin diri sendiri dan nggak pernah minta maaf. Saya  baru sadar, bahwa ternyata saya sering banget merasa nggak enak sama orang lain, tapi nggak pernah nggak enak-an sama diri sendiri. Saya sering banget merasa bersalah dan nggak jarang nganggap diri sendiri sampah hanya demi menyenangkan orang lain. Hanya demi memenuhi standard orang lain, hanya demi biar nggak kelihatan bego, biar diakui oleh orang lain. Jarang banget mau nyenengin diri sendiri dan nggak pernah minta maaf, apalagi ngasih apresiasi. Boro-boro.

Contoh fucked up-nya itu ketika kelar skripsi Desember 2019 lalu, setelah dinyatakan lulus dan keluar dari ruang sidang, saya nggak ada senengnya karena mulai mikirin revisi. Boro-boro mau bilang  maaf karena udah nyiksa diri sendiri secara fisik dan mental, bilang makasih aja kagak. Coba aja sama orang lain yang udah bantuin olah data, even yang ngerjain tetap saya, karena mereka cuma nunjukin caranya doang, but makasih lho ya dan maaf udah ngerepotin. See? Segitu gampangnya minta maaf sama orang lain.

Saya mikirnya, nih kalau badan dan hati saya bisa ngomong kayaknya mereka udah neriakin anjing di depan wajah saya deh, saking keselnya diperlakukan semena-mena. Kayak lagunya Nini Karlina, “Kalau hati bulan bisa ngomong, dia jujur takkan bohong” tapi serem juga sih kalau hati bisa ngomong, tapi nggak lebih serem dari saya sih, yang jahat banget sama diri sendiri.

Bukan berarti maksud saya nggak perlu bilang maaf sama orangtua dan orang lain, ya, heyyy....tentu saja bukan itu maksud saya. 

Oh, ya mengenai hal ini saya jadi ingat teman dekat saya, Suci. Seseorang yang meracuni saya dengan Sherlock Holmes, tapi tidak cukup berhasil meracuni pemikiran saya dengan anime Yep, dia nggak sesuci namanya gais. Seseorang yang selalu asik buat diajak bahasin tentang novel-novel yang saya baca, seseorang yang selalu asik diajak curhat tentang apa aja di samping Lilik dan Tari. Seseorang yang selalu punya perspektif lain tentang hidup yang kadang saya nggak nyangka.

Jadi beberapa tahun lalu ketika ada seminar akbar di kampus, di akhir acara moderator menyuruh para audience untuk menulis di selembar kertas tentang tiga orang yang kamu cintai dan tidak ingin kamu kecewakan. Rata-rata diantara kami menuliskan orang tua atau Allah di urutan pertama disusul dengan kakak, abang, atau orang lain di urutan kedua dan ketiga. Tapi Suci tidak, yang dia tulis di lembaran kertas itu adalah:
 Tiga orang yang paling saya cintai dan tidak ingin saya kecewakan: 1. Me 2. Me 3. Orangtua
Ketika ditanya, "Apa mu nggak merasa terlalu egois dengan nulis gitu Ci?" Dia jawab dengan santainya, “Bagi aku nggak ada yang namanya terlalu egois dari mencintai diri sendiri, aku nggak bisa gantungin harapan sama orang lain buat bahagiain diri aku, even orangtua aku pun, belum pasti. Jadi, kalau bukan aku siapa lagi, I love me” tambahnya sambil senyum.

Dulu, saya dan teman-teman sepakat bilang dia egois, sekarang? Gue yang geblek. Nggak, nggak, maaf Sov, dirimu yang pintar ini hanya butuh waktu lebih lama untuk jatuh cinta sama diri sendiri. Well, maafin sikap gue yang dulu ya, gue janji deh nggak bakalan brengsek–brengsek lagi sama diri sendiri. Kalau nanti gue ingkar janji, tenang aja, ntar gue bakalan janji lagi *gaplok pake raket nyamuk. Lastly, I wanna say I love me, myself, and I. Maaf  untuk tidak pernah minta maaf.

Share
Tweet
Pin
Share
17 comments

Pic from Pinterest

Tidak tahu kenapa, saya merasa bulan ini overwhelmed banget. Mungkin karena mengurus banyak hal (ahiilaa, soksoan banget sih gue) dan juga banyaknya melakukan perjalanan, ternyata bolak-balik naik pesawat saat pandemi bukanlah ide yang bagus gais, kalau bukan karena terpaksa keadaan, saya mah ogah. 

Saya suka suudzon kalau mau melakukan perjalanan seperti ketika rapid test, saya suka parno, gimana seandainya nanti dokternya salah cek dan tiba-tiba saya dinyatakan reaktif, even saya tahu saya nggak kemana-kemana sebelumnya atau gimana kalau nanti saya tertularnya dalam perjalanan, amit-amit ya Allah. Kemudian juga segala kebijakan pihak bandara untuk memenuhi standar operasional kesehatan yang jujur menurut saya pribadi banyaaak banget minusnya. Ah, sudahlah. Kali ini saya tidak mau cerita tentang perjalanan pandemi dan tetek bengeknya, may be next time, atau malah nggak sama sekali, haha.

Meskipun bulan ini cukup melelahkan namun banyak juga kok momen-momen cihuy yang saya lalui. Seperti berkumpul kembali dengan keluarga di Sumatera Barat misalnya atau berjumpa dengan teman masa sekolah saya dulu. Well, ngomongin tentang Sumatera Barat rasanya kurang afdhol kalau tidak membahas tentang budayanya sekalian. Aseek.

Mungkin kalau mendengar kata Sumatera Barat, hal pertama yang ada di pikiran kamu itu pasti nasi Padang kan? Haha, sebagai informasi saja gais, bahwa suku Minang di Sumbar juga beragam, tidak semua dialeg orang Minang itu sama, pun dengan adat istiadatnya juga ada perbedaan adat istiadat antar suku Minang, mungkin mirip seperti Jawa halus, Jawa kasar, I guess.

Jadi, adat istiadat orang Minang di Padang tidak sama dengan adat orang Minang di Bukittinggi, Batu Sangkar, Tanah Datar, Padang Panjang, Solok and et cetera. Berhubung kedua orang tua saya itu asli keturunan Pariaman, maka kami juga menganut adat istiadat orang Minang Pariaman. Nah, ada yang unik di sini, ketika akan menikah orang Pariaman akan mengadakan prosesi yang namanya “Ma anta tando” atau bahasa Indonesianya itu, mengantar tanda? Idk, how to translate that term properly kedalam bahasa Indonesia, tapi setahu saya itu semacam tradisi di mana pihak perempuan mengantar makanan tertentu, kayak  makanan yang di bawa itu di tentukan, nggak sembarangan, gimana sih ini? Semoga kamu paham gais.

Salah satu makanan yang wajib di bawa itu adalah “Lapek” atau biasa disebut lepat dalam bahasa Indonesia, jenis makanan yang agak kenyal dan dibungkus dengan daun pisang kemudian dikukus dalam proses memasaknya. Dan ketika memasak lapek ini, biasanya dilakukan secara bersama-sama. Jadi, orang tua atau keluarga perempuan yang ingin ma anta tando memberitahukan kepada tetangga kapan acara akan diadakan, maka sehari sebelum acara, para tetangga dan kerabatnya sudah berdatangan untuk membuat lapek bersama-sama. 

Kebetulan sekali yang akan melakukan pernikahan ini adalah teman masa kecil saya, dulu kami sering banget main gundu di halaman rumah nenek saya. Jadi, mau nggak mau ketika si mamak menyuruh saya ikut untuk membuat lapek bersama, lansung saja saya iyakan, karena segan juga, soalnya dia tahu saya lagi pulang kampung. So, di sinilah drama membuat lapek dimulai.

Permasalahannya gais, saya tidak tahu dan tidak pernah membuat lapek ini sebelumnya, mungkin karena saya juga tidak begitu suka kali ya (cara ampuh buat ngeles). Sedangkan dalam perkumpulan emak-emak di Indonesia selalu saja ada pertanyaan introgasi yang dibuka dengan kalimat “Waah, lah gadang anak gadih ko yo buk” (Waah, buk, anak gadisnya udah gede ya) yang kemudian dilanjut dengan “Lah sanang ibuk tu, tingga mangalai se di rumah lai” (Udah enak berarti ya, buk, semua pekerjaan rumah udah ada yang ngerjain).

Mendengar pertanyaan terselubung macam ini, saya cuma bisa tarik nafas sambil senyum-senyum mesum ketika si mamak diam-diam melirik saya, sebelum akhirnya menjawab “Hehe, iya buk, lumayan udah bisa bantu-bantu” hingga kemudian mengalir lah cerita mereka mengenai anak gadis mereka masing-masing. 

Berhubung saya nggak bisa bungkus lapek ini, jadi saya berpikir inilah kesempatan emas buat saya untuk belajar yang ternyata… gagal, haha. Kata si mamak, it’s okay, karena saya masih baru, jadi wajar saja kalau masih belum bisa, doi menawarkan saya untuk sering datang bantu-bantu orang kalau ada acara memasak lainnya. Saya yakin sekali bahwa itu cuma trik, biar saya mau main keluar rumah dan biar saya mau belajar masak. Long story short, karena sayanya nggak bisa-bisa, jadilah saya memutuskan untuk pulang saja, hehe. Dasar lemah. 

Selain tradisi ma anta tando, orang Minang Pariaman juga mempunyai tradisi “Manjalang anak”, manjalang anak maksudnya adalah mengunjungi anak, di mana mertua (dari isteri) berkunjung ke rumah besannya dengan membawa rombongan, biasanya mertua ini juga membawa perlengakapan bayi, uang, makanan, serta kadang bawa sapi juga, atau hewan ternak yang mana digunakan untuk kebutuhan sang bayi.

Lagi-lagi saya belum pernah pergi ke acara semacam ini. So, berhubung kemaren itu si mamak nggak bisa datang di acara manjalang anak ini, sebab harus memasak di rumah karena malamnya kami ada acara syukuran, jadilah doi menyuruh saya untuk menggantikannya, nyuruhnya dengan bahasa yang sadis banget “Lu yang pergi gantin mamak, ya, lagian kalau di rumah lu juga nggak bisa ngapa-ngapain”.

Nggak-bisa-ngapa-ngapa-in.

Saya kesel dengernya, si mamak tuh suka gitu, seolah-seolah di rumah tu saya nggak ngapa-ngapain, padahal kan saya juga mengerjakan pekerjaan perempuan pada umumnya, seperti kemaren saya masak deh kayaknya, walau… yaa gitu. Oke mari kita sudahi kekesalan ini.

Di acara inilah akhirnya saya mendapatkan pengalaman yang sangat cihuy itu gais, yang pas pulangnya saya senyum-senyum sendiri, dan pas nyampe rumah lansung ceritain ke si mamak saking antusiasnya saya.

Jadi seperti yang saya bilang di atas bahwa tradisi manjalang anak ini identik dengan membawa rombongan, nah, karena si tuan rumah yang mengajak, maka tuan rumah pula lah yang menyediakan kendaraan untuk berangkat tersebut. Dan kamu tahu gais, kendaraannya  seperti apa? Jeng…jeng…pakai mobil L300 dong, saya nggak tahu mobil ini lumrahnya di bilang apa, namun yang pasti ini semacam mobil ngangkut barang gitu lho.

Kebetulan sekali saya pergi tidak sendiri, melainkan dengan ponakan saya yang udah kayak teman curhat, jadi dia itu lebih tinggi dari saya, tahu ah, anak jaman sekarang kok cepat banget tingginya ya. Baiklah, pertama kali saya naik mobil itu dan berdiri bersama ibuk-ibuk gossip yang sepanjang jalan emang ghibah mulu, saya sampai heran, apa mulutnya nggak capek kali yak. Gosipnya lengkap banget cuy, udah kayak toko kelontong yang apa aja ada. 

Setelah setengah jam perjalanan, perasaan saya mulai tidak enak, karena semakin lama medan perjalanannya kok semakin menggelisahkan. Fyi gais, di Sumbar itu banyak banget gunung-gunung dan bukit, jadi jangan kaget kalau sewaktu-waktu kamu ke Sumbar, nanti jalannya di atas bukit atau turunannya yang ekstrim-ekstrim. Kalau kamu pernah dengar tentang kelok 44 di Sumbar, kira-kira jalanannya kayak gitu gais.

Satu jam perjalanan masih belum nyampe juga dan saya tambah curiga, ini rumahnya di mana sih, kok nggak nyampe-nyampe ya? 

Akhirnya dua jam lebih perjalanan dengan pakai mobil barang serta ibuk-ibuk yang sibuk ngegosip kami mulai memasuki tanjakkan dengan jalan kecil di tengah-tengah kebun, saya mikirnya “Waah.. bentar lagi nyampe nih” dan ternyata tidak gais, masih lama. Hingga kemudian, ditengah-tengah tanjakkan terjadi peristiwa yang cukup memacu adrenaline, yaitu mobilnya tiba-tiba mundur sendiri dan sontak semua ibuk-ibuk yang ada dalam mobil teriak dan berusaha loncat keluar. Malah ada yang buang dompet dan sendalnya keluar gitu aja, kemudian loncat keluar dari mobil. Sumpah saya nggak berhenti ngakak, masalahnya mereka lagi sibuk ngegosip, tiba-tiba ngacir loncat keluar gitu aja.

Lucu banget, saya nggak pernah ngalamin peristiwa yang begini amat, haha. Sampai akhinya di rumah tujuan pun mereka masih ngedumel “Begini amat kalau udah cinta ya, walau di tengah rimba sekalipun tetap di samperin” dan ibuk-ibu yang lain menimpali “Inilah yang namanya di hati mati, di mato buto” yang saya kurang paham maksudnya apaan, hehe.

Oh ya, setelah mobilnya tiba-tiba mundur, di perjalanan berikutnya mobilnya malah oleng karena rodanya masuk kedalam lubang yang lumayan dalam, pokoknya lucu banget menurut saya. So, instead of teriak-teriak ketakutan saya malah nggak bisa berhenti ketawa, sampai-sampai ponakan saya bilang “Lu aneh banget sih nte, padahal gue takut beneran lho” hahaha.

Dari sini saya mulai paham bahwa ternyata, para ibuk-ibuk di kampung itu identik dengan berita palsu, tapi kepercayaannya pada berita tersebut totally one hundred percent nggak heran, deh, jadinya sama kakak saya yang notabenenya juga ibuk-ibuk ke trigger sama berita hoax di grub WhatsApp keluarga. Mereka juga sempat ngumpat-ngumpatin pak Jokowi terkait banyaknya berita tidak bertanggung jawab berseliweran di internet, miris dan lucu sih di waktu bersamaan.

Sayangnya, saya tidak ahli dalam menceritakan ulang, jadi kayaknya tulisan ini tidak cukup mewakili keseruan perjalanan itu. Haha. Bodo lah, yang penting saya sudah menuliskannya sebagai pengingat.

Jadi, inilah momen random yang cihuy banget yang saya alami ketika menghabiskan liburan di kampung kemaren, well, sebenarnya saya nggak tahu mau nutup postingan ini gimana dan saya juga bingung mau ngasih judulnya apa baiklah gais, see ya!

Share
Tweet
Pin
Share
10 comments


Pic from Pinterest

Sebelumnya, I wanna say happy independence day Indonesia yang ke-75, semoga semakin baik bangsa dan negeri ini untuk ke depannya. 

Menilik lagi ke belakang mulai dari pembentukan negara ini, sepertinya perempuan dan kemerdekaan adalah dua kata yang sangat sulit untuk berjalan beriringan. Tulisan ini murni atas pandangan saya pribadi, ditambah dengan pengalaman saya  dan orang terdekat di sekitar saya. 

Jujur, dulu sebelum dewasa saya tidak pernah berpikir bahwa hidup sebagai perempuan penuh dengan tuntutan seperti ini, dulu saya adalah gadis kecil pada umumnya, memandang dunia ini sebagai cupcakes yang pilihan rasanya selalu manis. Selalu bermimpi, dewasa nanti saya akan bekerja dan bertemu dengan seseorang, kemudian kami saling mencintai, menikah, punya empat anak, dan akhirnya hidup bahagia selamanya sampai maut menjemput. Sesederhana itu pemikiran saya tentang hidup, makanya saya selalu berpikir menjadi dewasa itu menyenangkan. 

Beranjak remaja semua pandangan itu perlahan berubah, hidup sebagai perempuan dengan masyarakatnya yang memegang kuat pemikiran patriarki ternyata lumayan sulit, sebagai perempuan saya harus didikte ini itu sesuai standard yang diterapkan di masyarakat, saya sempat mengeluh dan bilang Tuhan tidak adil, kenapa saya terlahir sebagai perempuan. 

Realita dan lingkungan saya hidup merubah diri saya secara perlahan, terlahir dari keluarga yang relasinya tidak sehat membuat saya tambah membenci diri saya yang terlahir sebagai perempuan, duluuuu sekali saya berpikir perempuan itu lemah, mereka nggak bisa ngapa-ngapain ketika dijahatin sama laki-laki. Pemikiran seperti ini datang dari seringnya saya melihat pertengkaran kedua orang tua saya. Bapak itu adalah pribadi yang kasar, pemarah, dan suka banget banting barang-barang yang ada di rumah. Mamak adalah orang selalu diam atau jawab seadanya jika berantem sama bapak, lalu nanti saya akan lihat dia nangis diam-diam, kalau bapak sudah pergi.

Hal ini juga saya lihat di sekolah, di mana teman-teman cowok selalu gangguin anak cewek dan lagi-lagi bisanya cuma nangis. Dari dulu saya memang sudah kesel kayaknya sama kelakuan cowok toxic, yaa walau anak esde belum bisa dibilang toxic ya. Saya masih ingat sekali, dulu sehabis sholat saya selalu berdoa sama Allah dengan khusyuk, supaya semua cowok yang ada di dunia ini menghilang saja atau ditarok di planet lain yang nggak ada sayanya.

Dulu saya juga sering iri sama adek saya yang cowok, karena dia bisa bebas ngelakuin hal apapun yang dia suka. Bapak selalu melarang anak perempuannya main keluar, bagi dia perempuan itu ya, di rumah. Benar-benar menganut budaya patriarki. Dulu saya sering banget dipukulin karena bandel tetap aja main keluar. Pernah juga saya dipukulin habis-habisan di depan orang rame, rasanya mau mati aja saking malunya. Pokoknya cara bapak memperlakukan anak perempuannya beda banget sama anak cowoknya. 

Belum lagi budaya blaming victim yang melekat erat di diri masyarakat, dulu saya belum tahu istilah ini off course. Pernah terjadi suatu kejadian yang susaaaah banget hilangnya di kepala saya, yaitu kakak kelas saya di sekolah esde diperkosa, sialnya masyarakat malah sibuk bahasin keperawan dan kata-kata lainnya yang bikin saya jijik sama masyarakat sendiri. Jadi perempuan itu susah, karena sering diperlakukan semena-mena sama laki-laki dan masyarakat sekitar. Sering ya, bukan selalu.

Di hari ulang tahun negara ini yang ke sekian kalinya, saya ingin melihat apa saja yang dimerdekakan oleh negara ini. Dan setelah saya perhatikan, banyak yang belum merdeka, saya menulis ini bukan untuk mengeluh, hanya untuk pengingat mana tahu dua puluh atau tiga puluh tahun yang akan datang sudah terealisasikan kemerdekaan sesungguhnya, di mana anak-anak bisa sekolah tanpa takut terkendala biaya dan para perempuan tidak takut lagi digrepe-grepe di jalanan sepi, tulisan ini hanya sebagai perbandingan jika diizinkan saya hidup lama dan menyaksikan kesejahteraan yang dijanjikan itu.

Setelah dewasa akhirnya saya bisa melihat dari dekat tuntutan-tuntutan yang dipaksakan kepada perempuan tersebut, karena beberapa kali saya juga pernah kecipratan. Seperti perempuan yang harus bisa masak, perempuan harus cekatan, perempuan harus putih and the bla and the ble yang malas banget saya sebutin satu-satu. To be completely honest, saya nggak bisa masak, bukan karena saya malas, tapi karena memang saya nggak suka masak, biar diperjelas bahwa saya nggak suka masak. Saya suka bersih-bersih selain setrika dan nyapu halaman rumah pastinya, jujur saya lupa apakah saya pernah nyapu halaman atau tidak. 

Mungkin di beberapa postingan sebelumnya saya pernah bilang bahwa saya mengidap trust issue yang lumayan parah. Saya benci drama pacaran perempuan-perempuan di sekitar saya, itulah alasan kenapa saya suka julid dan kesel sama beberapa teman yang nangis-nangis soal percintaan, mungkin karena saya sudah muak sama kondisi seperti itu. Itu dulu ya, sekarang saya sudah bisa agree to disagree bahwa mereka boleh kok jadi wanita menye-menye karena drama percintaan mereka, sama seperti saya yang sah-sah saja tidak percaya sama cinta antara pasangan, toh hidup tidak melulu tentang hitam dan putih, bisa saja merah, hijau lumut atau abu-abu monyet.

Saya itu suka banget baca-baca artikel atau data-data tentang kekerasan dan pelecehan perempuan di Indonesia, saya bahkan bisa buka tujuh puluh tab lebih untuk membaca artikel atau  melihat perbandingan data-data tiap tahunnya. Sama saya juga suka banget membaca artikel tentang seberapa pantas dan merata pendidikan di negeri ini. Dua hal ini kadang bisa membuat saya diam-diam menangis terisak-isak. Saya juga sering diingatkan sama Tari, bahwa itu tidak sehat. 

Mungkin karena saya suka banget sekolah dan dulu bapak selalu mengancam saya dengan ini kalau seandainya mamak lari dari rumah, dia selalu bilang kalau akan memberhentikan saya sekolah kalau seandainya saya ikut mamak.

Dengan pengalaman dan bagaimana saya dididik sewaktu kecil, tanpa sadar saya membangun benteng yang tinggi banget dalam diri saya, hanya orang-orang tertentu yang saya izinkan masuk ke daerah territory itu dan cowok bukan salah satunya. Saya masih ingat sekali dulu betapa jijiknya saya ketika ada cowok yang suka sama saya. Sewaktu kelas dua menengah pertama, saya pernah menggeledah tas teman sekelas saat jam istirahat, karena ada kabar yang berhembus, bahwa dia bermaksud mengirimi saya surat cinta. Saking tidak terimanya saya mencari sendiri surat itu, saya sobek-sobek dan saya buang di selokan. Di sekolah saya juga dibilang jutek dan cuek, saya tidak sadar kalau ternyata saya seperti itu.

Disuguhi sama drama pernikahan ke dua orangtua saya, membuat saya membangun definisi sendiri tentang apa itu pernikahan. Beberapa tahun belakangan ini, menikah tidak pernah masuk dalam list hidup saya, karena saya masih belum tahu apa esistensi dari hidup ber-partner yang dilegalkan secara agama dan negara.

Menjadi perempuan itu nyesek banget, karena dari yang saya perhatikan di sekitar saya, mereka harus kehilangan banyak hal ketika menikah, seperti tetangga depan rumah saya yang dipaksa berhenti bekerja oleh suaminya, di lain situasi tetangga sebelahnya lagi malah harus ikutan banting tulang untuk memenuhi kebutuhannya. 

Jujur saja, saya tidak percaya sama yang namanya istilah multitasking dan monotasking, perempuan bisa multitasking for me is a big bullsh*t. Faktanya mereka bisa banyak hal karena dituntut keadaan, mereka harus bisa mengurusi rumah, anak dan pekerjaan secara bersamaan karena nggak punya cukup uang untuk bayar asisten rumah tangga.

Dari lahir sudah ditanamkan ke batok kepala kita, bahwa sebagai perempuan kita harus bisa ini, itu. Nanti ketika sudah menikah harus begini begitu biar bisa meringankan beban suami dan bla bla lainnya. Beruntung saat dewasa kita berjumpa lelaki yang benar-benar paham bahwa menjadi istri tidak melulu harus begini begitu, nah, bagi yang tidak? Ya, gimana lagi.

Saya tidak menghakimi siapapun yang melakukan pekerjaan rumah, mengurus anak dan suami secara bersamaan, karena kamu sebagai perempuan berhak memutuskan apa pun dalam hidup kamu, mau jadi ibu rumah tangga sepenuhnya, wanita career atau apa saja, asal kita suka, asal kita bahagia. Point saya di sini adalah bagi perempuan yang terpaksa melakukan banyak hal secara bersamaan, kemudian dipaksa percaya bahwa itu wajar, bahwa perempuan itu diciptakan multasking. Saya bilang ini karena saya tahu persis gimana rasanya saya dipaksa masak enak sama mamak saat pulang kampung, sedangkan saya nggak suka masak. I hate cooking. 

Perempuan dan kemerdekaan itu belum bisa berjalan sambil gandengan tangan, karena susaaaah merubah kepercayaan yang sudah mengakar selama bertahun, masih banyak kemerdekaan perempuan yang belum tercapai, merdeka dari jadi samsak tinju suaminya, ayahnya, abangnya, pamannya. Merdeka atas tubuh mereka sendiri, karena setelah saya perhatikan ada perempuan yang ketika menikah kehilangan hak terhadap diri sendiri, mereka tidak bebas lagi berkarya, karena didikan dari keluarganya yang harus tunduk sama suami, surga seorang isteri ada pada suaminya.

Menyaksikan ini membuat saya sadar, bahwa benar yang dikatakan oleh William Blake, bahwa agama memiliki dua rasa yaitu agama yang gelap dan dogmatis menekan pemikiran kreatif kemudian agama yang terang dan luas mendukung instropeksi dan kreativitas. Mungkin ini lah sebabnya para bigots (politik, agama, et cetera) itu berbahaya.

Perempuan belum merdeka memutuskan apapun menyangkut kebahagiaannya, seperti masih banyak perempuan yang dikatakan perawan tua karena telat menikah, atau istilah perempuan yang tidak sempurna karena belum bisa punya anak, seolah fungsi perempuan itu hanya melahirkan anak saja, atau bahkan dikasihani bagi mereka yang memutuskan untuk menua sendiri, alasan yang sama kenapa saya belum bisa bilang kepada keluarga bahwa saya tidak mau menikah. Karena tidak menikah pasti akan dikasihani, atau diceramahi seolah-olah kita sudah murtad dan harus dituntun kembali ke jalan yang benar.

Ada sebuah cerita tentang perempuan yang belum merdeka memilih dalam hidupnya ini, dia blogger favorite saya yang selalu bercerita tentang kesehariannya di blog, suatu siang tiba-tiba dia posting bahwa dia dipecat dari kantor dan salah satu alasannya adalah karena ketahuan dia  seorang perokok dan dia perempuan, saya jadi miris bacanya bagaimana atasannya mengata-ngatai dia tentang perempuan dan rokok, pertanyaan saya sejak kapan rokok punya jenis kelamin? 

Kenapa perempuan itu harus ditarok dalam kotak-kotak sih, memang apa salahnya kalau dia merokok selama dia tidak merokok sembarangan, ya tidak masalah. Jujur saja, saya juga tidak suka sama perokok, yaitu perokok yang nggak tahu aturan dan yang egois merokok di sembarang tempat.

Menjadi perempuan di negara ini harus kuat mental, karena harus siap siaga dicap ini itu dan kita juga harus berjuang lebih, dalam meyuarakan kebebasan kita terhadap tubuh kita dan keputusan kita. Menjadi perempuan di negara ini juga dihantui banyak ketakutan, seperti ketika mengalami pelecehan, para perempuan takut bersuara, takut dicap aib keluarga, takut dicap perempuan kotor, nggak berguna lagi kalau sudah tidak perawan, seolah-olah kita ini barang, yang bisa berkurang nilainya.

Lama-lama saya jadi curiga, jangan-jangan keperawanan ini hanya mitos, dilihat begitu senjangnya bagaimana mana penilaian seks antara laki-laki dan perempuan, karena ada laki-laki yang beranggapan bahwa tidur dengan banyak perempuan itu adalah sebuah prestasi, sedangkan ada (malah banyaaaak) perempuan yang beranggapan keperawanan adalah harga mati, lebih baik mati jika sudah tak perawan. Bisa saja orang yang menciptakan teori ini untuk menguntungkan dirinya, bisa sajakan. Ahilaaa, suudzon mulu gue.

Jujur, saya pernah hampir mengalami pelecehan seksual (diluar komentar seksis dan catcalling). Saya masih ingat sewaktu esde, tetangga saya pernah menyuruh saya buat pelorotin celana dalam untuk menengok vagina saya, karena saya merasa itu tidak benar, kayak ada sesuatu yang berontak dalam diri saya yang mengatakan itu salah, jadi saya memilih lari dan pulang ke rumah, itu si kampret sempat ngejar saya tapi untung waktu itu ada teman saya yang lihat dan dia lansung berhenti seolah-olah nggak ada apa-apa. Bertahun-tahun rahasia ini saya simpan dan hanya saya ceritakan pada satu orang, dengan dalih malu.

Sekarang saya berani bercerita karena saya sadar tidak ada yang harus dimalukan dari korban pelecehan, karena yang seharusnya malu adalah pelaku, yang nggak gunain otaknya dan berusaha mencabuli saya. Thank God, saya masih punya insting waktu itu, karena sejujurnya dulu saya belum tahu kalau itu pelecehan.

Sekarang seiring berjalannya waktu defenisi tentang perempuan itu makhluk lemah terpatahkan, bagaimana bisa saya dulu berpikir bahwa perempuan itu lemah dengan segala tuntutan dan tantangan yang ada di pundaknya, perempuan adalah makhluk kuat dan unik secara bersamaan. Perempuan itu luar biasa dengan segala perjalanan hidupnya, kamu lebih dari apa yang kamu tahu gurl.

Kepada perempuan lain yang berjuang di luar sana, terimakasih, karena patriarki tidak selalu mudah, please be strong. Dan kepada mereka yang putus asa karena kerasnya tuntutan, saya dengan setulus hati berdoa semoga Allah mudahkan jalanmu, Allah lapangkan hatimu, dan kuatkan pundakmu, tetap berjuang, please.

Sekali lagi selamat ulang tahun Ibu Pertiwi, semoga semakin jaya para lelakimu dan sejahtera para perempuanmu. Semoga tercapai kemerdekaan yang sesungguhnya.



Share
Tweet
Pin
Share
8 comments


Origin, mungkin bagi kamu yang penggila Langdon series tidak asing dengan buku ini. Namun, bagi saya yang berusaha mencintai novel thriller mystery macam ini harus berjuang menyelesaikan lembar demi lembarnya, karena saya kurang suka dengan novel yang menyuruh pembacanya untuk menebak-nebak begitu, bagi saya membaca ya membaca aja, tidak usah main riddle begitu. Haha. Ya, saya memang sepemalas itu, bahkan ini adalah novel bergenre thriller, mystery and crime pertama yang saya baca. Dan saya menyesal kenapa tidak membaca ini dari dulu, padahal sudah lama terletak begitu saja di rumah.

Novel ini di beli kakak saya dua tahun lalu, tapi saya tidak pernah tertarik untuk membacanya, karena di pikiran saya saat itu, filmnya saja sudah bikin tegang apalagi novelnya. Ya, Sembilan tahun yang lalu saya pernah menonton salah satu karya Dan Brown yang diangkat jadi film “The Da Vinci Code”.

Origin sendiri adalah seri ke-lima dari Robert Langdon setelah Angels and Demons, The Da Vinci Code, Lost Symbol, dan Inferno. Novel ini berlatar belakang di Spanyol dan saya sangat kagum kepada Dan Brown, karena melalui buku ini, dia berhasil mengajak saya jalan-jalan ke Museum Guggenheim di Bilbao, Katedral Sagrada Familia di Barcelona, dan di kediaman terakhir Antoni Gaudi, Casa Mila. Dan dalam kepala saya setelah banyak ini adalah “Spanyol wait for me ya, gue nabung dulu”. Ternyata oh, ternyata membaca novel misteri tidaklah seburuk itu. 

Novel ini dibuka dengan prolog seorang ilmuan komputer yang futuris dan jenius, Edmond Kirsch yang melakukan pertemuan rahasia dengan tiga pemuka agama yang berpengaruh di dunia yaitu Uskup Antonio Valdespino (Kristen), Syed al-Fadl (Islam), dan Rabi Yehuda Koves (Yahudi) di Biara Montserrat, Catalonia, Spanyol.

Dalam pertemuannya itu, seorang futuris asal Amerika ini menampilkan versi singkat dari hasil temuannya untuk melihat reaksi para pemuka agama tersebut sebelum ia umumkan di depan publik. Ia juga mengklaim bahwa temuannya ini serupa dengan temuan Copernicus pada masanya di mana sains berhasil menggedor pintu gereja saat itu. Benar saja, sesuai dugaan Kirsch, paparan singkat itu berhasil membuat ketiga pemuka agama tersebut terguncang dan berada dalam jurang dilemma yang besar.

“Dan aku hendak melontarkan tombak menyala ke dalam sarang lebah”

Baiklah, sebelum melanjutkan tulisan ini, let’s to be quite honest that I’m not good enough at reviewing something either books or movies, hehe. Jadi, maafkan jika review ala-ala ini tidak membuat kamu tertarik untuk membaca bukunya setelahnya gais dan kepada om Brown maaf juga ya (sambil sungkem). Oke, lanjut.

Edmond Kirsch yang seorang ateis percaya bahwa agama hanya diciptakan sebagai dalih dari ketidak mampuan otak manusia menerima kekacauan, ia menganalogikan bahwa otak manusia sama dengan sebuah komputer besar, dimana setiap harinya otak kita menerima berbagai macam informasi seperti bahasa, lagu, music, rasa cokelat, kemudian menginterpretasikannya dan ketika otak tidak sanggup dalam menginterpretasikan sebuah informasi, maka kita butuh wadah untuk menampungnya agar kita tidak kacau dan wadah tersebut adalah agama. 

Contohnya disini adalah dua pertanyaan fundamental tentang eksistensi manusia, yaitu “Dari mana asal kita? Dan kemana kita akan pergi?”. Jadi, ketika otak tidak mampu menjawabnya, kita akan menyerahkannya kepada agama untuk menghindari kekacauan. Maka, muncul lah istilah Tuhan dan Dewa-dewa sebagai jawaban dari pertanyaan yang pertama, kemudian disusul dengan istilah surga, neraka untuk menjawab pertanyaan selanjutnya.

Jujur, di sini Edmond Kirsch sangat keren dengan presentasinya untuk membujuk para audience agar percaya bahwa agama hanya menekan kreatifitas para pemeluknya.

Konflik di novel ini muncul di awal bab dua puluh satu, di mana Edmond Krisch terbunuh di atas podium dalam presentasinya dengan peluru bersarang di kening tepat beberapa menit sebelum hasil temuannya diumumkan. Dan disinilah teka-teki dimulai. Siapa yang membunuh Edmond Kirsch? Dan apa hasil temuan Edmond Kirsch sebenarnya?

Oh ya, kayaknya menampilkan simbol-simbol adalah ciri khas dari Langdon series deh, soalnya seingat saya waktu nonton The Davinci Code dulu, saya juga disuguhi simbol-simbol yang harus dipecahkan professor Langdon dalam mencari petunjuk.

Disini Dan Brown sangat ahli dalam menggiring opini publik tentang siapa pembunuh Edmond Kirsch sesungguhnya, gregetan deh pokoknya. Pikiran pembaca berhasil dibolak-balek, kayak korban friend zone, kakak-adekaan. Haha. SERIUS DONG WOY, REVIEW BUKU LOH INI! Oke fokus.

Setelah kematian Edmond Kirsch, banyak sekali teori-teori konspirasi yang bermunculan dan menebak-nebak siapa yang membunuh Kirsch, teori pertama itu adalah Edmond dibunuh oleh anggota kerajaan yaitu Pangeran Julian yang juga merangkap tunangan Ambra Vidal seorang direktur dari Museum Guggeinheim, tempat di mana Kirsch melakukan presentasi akbarnya. Saya pribadi berpendapat bahwa ternyata teori konspirasi selalu berhasil menempatkan dirinya sebagai pusat perhatian di tengah-tengah sebuah polemik, serumit apapun itu. Perhatikan saja, mulai dari penyangkalan Holocaust, terbunuhnya John F. Kennedy, bahkan sampai kepada konspirasi virus Korona.

Kemudian gais, bagi kamu yang tidak terlalu tahu tentang seni dan arsitektur, di novel ini banyak muncul istilah seni dan membahas tentang arsitektur, that’s why I said saya mau ke Spanyol, saking bagusnya Dan Brown mendeskripsikan tentang bangunan-bangunan yang ada di sana. 

Novel ini didominasi oleh bagaimana permainan kucing-kucingan yang dilakukan oleh profesor Langdon dan Ambra Vidal untuk mengungkap apa isi temuan Edmond Kirsch sekaligus membersihkan nama Langdon setelah secara tiba-tiba pihak kerajaan menyatakan Landon telah menculik calon ratu Spanyol, Ambra Vidal.

Seperti yang saya ungkapan di atas bahwa novel ini juga membahas seni dan arsitektur, maka tokoh-tokoh ternama seperti Winston Churchill, William Blake, dan Antoni Gaudi banyak disebutkan di sini.

Menurut saya pribadi novel ini ending-nya plot twist banget sih, dimana kamu hanya benar-benar menebak siapa pembunuhnya itu kalau membaca sampai kelar. Pokoknya om Brown lihai sekali membuat tebakan-tebakan kita keliru dan saat ending cerita baru kemudian kita bisa teriak “Huaaaa…. Bangsad banget siih” haha. Dan ternyata clue-nya itu ada ditengah-tengah cerita kalau kamu jeli dan jenius bakalan lansung “ngeh” deh kayaknya. This is the clue: Sejarah akan bermurah hati padaku, karena aku berniat menuliskannya sendiri. Semoga nggak spoiler, haha.

Oke, deh gais sekian dulu review buku yang nggak review-review amat ini, semoga kamu tertarik untuk membaca. Please, buat yang sudah baca what do you think about it? Oh ya, di sini saya setuju banget sama pemikirannya William Blake yaitu: 

“The dark religions are departed and sweet science reigns”.  Bahwa agama mempunyai dua rasa‒agama yang gelap dan dogmatis menekan pemikiran kreatif, kemudian agama yang terang dan luas yang mendukung instropeksi dan kreativitas (Origin, hal. 506).



Share
Tweet
Pin
Share
2 comments




Setelah berulang kali menghapus kalimat pembuka di postingan ini, akhirnya saya memutuskan untuk bodo amat. Well, tulisan ini diketik dalam keadaan mellow banget dan dengan otak buntu, namun tetap saya paksa untuk menulis, mungkin karena didominasi banyak hal seperti hujan, kemudian sendiri di ruang tamu, dan lagi galau, cause if wanna know guys, I’m no longer a college student, alias pengangguran. Idiih, nggak enak banget sih ini pembukaan.

Baiklah , mungkin diantara kamu yang pernah beberapa kali main ke blog ini (kegeeran), sudah tidak asing lagi dengan duo motivation absurd yang lumayan sering saya ceritakan di sini dan mungkin sekarang kamu juga sudah bisa menebak tulisan ini tentang siapa. Yep, benar sekali, dilihat dari judulnya saja sudah ketahuan. Lilik. Seseorang yang banyak sekali memberi energi positif pada diri saya, orang asing yang memaksa mengambil tempat penting di hati saya. Terdengar cliché memang. 

Saya lupa bagaimana persisnya saya dan Lilik bisa sedekat ini, tiba-tiba kami sudah klop aja, mungkin karena kami sama-sama absurd kali yak. Sebenarnya Lilik itu junior saya, kami beda fakultas yang secara otomatis juga beda jurusan, ya iyalah. Dulu itu saya suka kepedean dengan bilang sama Lilik, bahwa nanti dia jangan sedih kalau saya tamat dan pergi duluan. 

Namun, namanya hidup siapa yang tahu ya, bahwa ternyata saya dan Lilik selesainya barengan haha (makan tuh kepedean), karena satu dan lain hal (dibaca procrastinate) saya butuh dua semester untuk menyelesaikan skripsi saya. Lama bener emang, etapi sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi saya itu sengaja nungguin Lilik, karena saya emang gituuu, suka nggak tegaan. Ahilaaa, NGELES TERUS WOY!

Oke, lansung saja gais, jadi ceritanya waktu mau beres-beres barang untuk balik kampung kemaren, Lilik memberi saya sebuah kado yang saya beri nama Sparkplug, alasannya? Ya, nggak ada haha. Biar kedengaran keren aja kayak Om Gerald Butler di “Olympus Has Fallen”, mungkin kalau dilihat dari sisi materi kado Lilik ini nggak ada apa-apanya, namun siapa sangka bahwa yang “nggak ada apa-apanya” inilah yang membuat saya tersenyum dan menangis secara bersamaan.

Sparkplug ini berisi tentang fakta-fakta absurd khas Lilik banget, serta tulisan tentang semua hal yang dulu kami lakukan bersama-sama. 

Tidak tahu kenapa ketika membaca tulisan itu, spontan saja ingatan saya ditarik paksa kebelakang, kerennya itu flashback, ternyata Lilik benar-benar ahli dalam memenjarakan kenangan dan membuat saya menolak melupakan semua kegiatan yang kami lakukan dahulu. Saya tidak akan menceritakan semuanya, cuma beberapa saja, selebihnya biarkanlah menjadi milik kami berdua, untuk bahan dikenang kembali nanti di usia senja. Yihaa.

Sama-sama Telat Nge-Blog

Tepatnya, kami yang baru terbuka pikirannya tentang blog di tahun 2019, telat bener, yaa salam. Selama ini kemana aja wooy? Haha. Saya ingat sekali, dulu tujuan kami nge-blog itu biar produktif, biar banyak baca, biar banyak menulis, dan biar, biar lainnya, yang ujung-ujungnya benar-benar di biarin, alias itu blog nggak diapa-apain. Kalau kamu belum tahu gais, dulunya nama blog ini lebih alay dari yang sekarang. Huahaha. 

Jadi, untuk menghindari resiko saya terkena rajam, saya tidak akan menyebutkannya, biarlah dark secret ini saya simpan sampai saya mati dan semoga saja tidak menjadi penambah timbangan amal buruk saya di padang masyar kelak. Sedangkan alamat blog Lilik masih bisa dikatakan normal, tidak ada unsur-unsur menggelikan dan pengen banting orang setelah baca blognya. Lilik yang konsisten mengisi blognya dengan curhatan pribadi dan tidak banyak juga yang mengetahui alamat blognya, palingan cuman saya, Lilik, dan Tuhan. Haha, mungkin tujuannya memang untuk e-diary.

Dari Nongkrong di Danau Kampus Sampai Nge-bakso Depan SKA

Hmm… jadi sedih lagi kalau ingat moment yang sering kita lakuin bareng-bareng Lik. Jadi, kami berdua sukaaaa banget nongkrong di danau kampus sambil dengerin anak-anak teknik elektro main gitar. Berbekal gorengan dan minuman cincau maka mengalirlah cerita-cerita masa lalu, atau sekedar curhat.

Anehnya, danau ini seperti mempunyai kekuatan magic gitu, soalnya dia bisa membuat kita mengungkapkan sesuatu yang sebelumnya beraaat banget untuk diungkapin. Pokoknya kalau sudah nongkrong di sana, cerita kami mengalir begitu saja. Semuanya.

Kemudian kami juga pernah makan bakso di tepi jalan, persis di depan sebuah mall Pekanbaru, jadi waktu itu sehabis pulang dari Gramed, kami memutuskan untuk makan bakso di sana, karena banyak yang bilang, bahwa bakso di sana terkenal enak. Saya ingat sekali sewaktu menunggu pesanan datang Lilik pernah bilang:

“Kalau ketahuan bapakku kita makan di sini, bisa habis kita kak”

“Emang kenapa gitu Lik?”

“Soalnya makan di sini kan kotor, di tepi jalan”

“Ouuh…” *respon yang menyebalkan memang.

Tapi, etapi walau takut di damprat bapak Lilik kalau ketahuan makan bakso di tepi jalan, kami tetap aja makan bakso untuk kedua kalinya di sana. Habisnya, baksonya beneran enak, sih. Tepatnya, sewaktu kami pulang dari Riau Expo, yang ternyata nggak se “wah” yang kami kira, kami melampiaskan kekecewaan itu untuk beli bakso mas-mas tepi jalan dan pas pulangnya saya khilaf ngasih uang lima puluh ribu ke abang parkiran, yang Alhamdulillah dibalikin sama si abangnya. Terimakasih kepada semua orang jujur on this planet.

Drama Cuci Muka dan Cuci Baju

Sama pada perempuan pada umumnya kami berdua ini penuh drama, salah satunya adalah ketika mau pergi. Lilik selaluuu protes, katanya durasi saya mencuci muka sama dengan lamanya dia mandi. See? Drama banget kan dia, yang nggak mungkin lah selama itu. So, berhubung saya ini smart people, tentu saja saya tidak menelan mentah-mentah omongan Lilik, saya survey kepada teman lain yang pernah sekamar dan berbagi kamar mandi dengan saya dan jawaban mereka semua…ya, sama. 

Akhirnya saya hanya bisa menyimpulkan bahwa mandi mereka yang kecepetan, karena nggak terima mandinya cepet, jadi mereka mencari kambing hitam untuk disalahkan, apalagi kalau bukan bilang, “Durasi mu cuci muka, sama dengan durasi aku mandi”. Haduuh gais, taktiknya sudah kebaca kok. 

Kemudian beralih kepada drama nge-babu alias cuci baju dan beres-beres. Berhubung jemuran di kos itu sedikit sedangkan baju para membernya itu banyak, jadi kami harus bisa menyesuaikan jadwal nyuci biar semua kebagian jatah jemur. Nah, karena saya ini berjiwa competitive, jadilah setiap Lilik rendam baju, saya diam-diam balik ke kamar sendiri dan mencuci baju dengan gesit dan ceria. Haha. 

Emang, jiwa dengki competitive emang gitu. So, ketika nanti Lilik mau jemur baju, dia dikejutkan dengan pemandangan baju saya yang sudah bergelantungan manja di tali jemuran. Biasanya reaksi Lilik itu kayak gini:

“Kak Sopiiiii….ihh memang lah ya”

“Apa sih Lik, teriak-teriak nggak sopan loh”

“Aku duluan tadi nyuci baju ya”

“Tapi kan aku yang duluan jemur, siapa cepat dia dapat”

Kalau sudah begitu biasanya Lilik cuman bisa ngomel-ngomel nggak jelas, jadi nggak perlu didengerin. Tidak tahu kenapa, kami suka sekali pacu-pacuan kalau mau nyuci baju dan pemenangnya itu selalu ditentukan oleh baju siapa yang paling dulu berada di tali jemuran. Absurd sekali memang. Padahal kan tidak ada gunanya juga.

Kami berdua juga suka mimpi nanti bakal jalan-jalan bareng, terakhir cuma Lilik dan Tari yang berhasil nge-trip bareng member kos lainnya. Kebetulan waktu saya lagi balik ke Sumatera Barat, karena kakak saya mau menikah. Dan ketika saya tanya kenapa nggak nungguin saya, alasan mereka nyesek banget. 

Lilik bilang kalau seandainya ada saya maka, acara nge-trip itu bakal gagal total, karena menurut dia saya banyak maunya dan suka mengeluh, suka parno yang nanti berefek kepada keputusan mereka. Sedangkan Tari bilang saya itu manja dan jijik-an jadi tidak cocok diajak nge-trip bareng. 

Dari sana, lagi-lagi saya dapat menyimpulkan bahwa, selama empat tahun menjalin pertemanan ini, mereka masih belum mengenal saya sepenuhnya. Mereka nggak tahu aja, kalau saya ini adalah the most independent woman on earth, jadi mengeluh dalam perjalanan bukan tipe saya. Palingan saya cuman curhat, karena setahu saya fungsi sahabat itu salah satunya adalah meringankan beban dengan mau mendengarkan curahan hati sahabat lainnya. Jadi, nggak ada yang salah dong ya.

Well, gais I think enough for today (udah kayak mengakhiri presentasi makalah ya, haha), oke, di penghujung cerita entah berantah ini, izinkan saya membeberkan sebuah fun fact tentang Lilik, just in case kalau seandainya nanti kamu jumpa sama Lilik, somewhere, somehow gitu, karena sekali lagi hidup siapa yang tahu ya, bisa saja di lima, tujuh, atau sepuluh tahun yang akan datang secara ajaib kamu jumpa sama Lilik gais.

Ketika stress Lilik akan mengerjakan soal Matematika yang membuat saya juga ikutan stress. Jadi, noted it. Usahakan untuk tidak sekamar dengan Lilik, karena bagi Lilik, berkutat dengan soal-soal Matematika adalah cara untuk membuat dia tetap waras. Asiik. 

Kepada Lilik, terimakasih atas kenangan-kenangan indahnya, aku belajar cara mengendalikan emosi dan bagaimana cara agar tidak gampang marah dari dirimu Lik. Terimakasih sudah mau berteman sama makhluk cuek yang suka emosian kayak aku. Persis seperti yang Ika bilang, “Kok bisa mu dekat sama kak Sovi, Lik? Dia kan cuek banget”. 


Share
Tweet
Pin
Share
9 comments

Pernah nggak sih kamu ngerasain jantungmu berdetak lebih kencang, seperti genderang yang mau perang, tapi bukan karena sedang ingin bercinta? Hal ini justru hanya disebabkan oleh sesuatu yang mungkin menurut orang lain terlihat sepele, yaitu ketika menerima panggilan telpon. Phone anxiety atau biasa juga disebut telephone phobia adalah situasi di mana seseorang merasakan ketakutan atau kepanikan yang berlebihan ketika membuat dan menerima panggilan telpon. Hal ini mungkin terdengar aneh, tapi percayalah banyak orang di luar sana yang merasa tidak aman dan menderita panik berlebih ketika mendapat panggilan telpon dan saya adalah salah satunya.

Phone anxiety sering kali dikaitkan dengan social anxiety disorder, atau lebih tepatnya banyak pengidap SAD (Social Anxiety Disorder) yang juga mengalami telpon fobia, dengan artian kata social anxiety disorder biasanya berjalan beriringan dengan telephone phobia. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ada seseorang yang totally fine with social interactions, tapi mengalami gangguan panik jika mendapat panggilan telpon.

Jujur, setiap kali saya mendapat telepon dari orang yang saya nggak nyaman, my hand is shaking and my heart is beating so fast, cemas banget pokoknya, there is a feeling that I cannot explain about dan kepanikan ini jadi meningkat drastis jika penelpon adalah new number. I also told my friends over and over that I hate being called by someone on the phone, kecuali emak saya, of course. Jadi, seumur hidup, intensitas saya bicara via telpon itu, bisa dihitung pakai jari dan kebanyakan panggilan telpon itu dari mak saya pastinya.

Anehnya, even sama abang-abang Gojek dan Grab pun, saya tetap kayak gitu. Padahal kan logikanya saya sudah tahu siapa yang nelpon dan topik apa yang akan dibicarakan, ya, palingan abang Gojek cuman nanya “Sesuai pesanan kan mba?” atau panggilan dari abang Grab yang ingin memberitahu “Mba, saya sudah di lokasi”. Setelah saya telusuri ternyata memang ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Salah satunya adalah perasaan trauma di masa lalu, seperti pernah mendapat berita tidak enak yang traumaris banget melalui via telepon atau bahkan pernah dimarah-marahin sama strangers yang salah nomor. Nah, yang terakhir itu pengalaman pribadi saya, hehe.

Saya masih ingat pertama kali saya punya handphone itu pas kelas enam esde akhir. Saya dapat handphone bekas kakak saya yaitu Nokia 6020 (masih ingat banget haha). Jadi, pas awal-awal sekolah menengah pertama, saya pernah dapat panggilan telpon dari strangers yang berakhir nyesek banget. Bagaimana tidak, saya dikata-katai sama perkataan yang menurut saya tidak pantas saya dengar, saya cuman sempat bilang “Halo”, tapi sudah diserbu dengan kalimat-kalimat negatif. Mungkin karena masih kecil saya nggak tahu harus ngapain, cuma bisa dengerin sambil gemetar karena takut banget. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi kenapa nggak saya matiin aja sih telponnya atau bilang “Maaf Anda salah sambunng".

Kemudian situasi ini di perparah beberapa bulan kemudian, ketika dapat telpon dari paman saya yang juga marah-marah karena panggilan telponnya seharian tidak saya angkat, padahal karena saya memang sekolah dan sorenya dilanjut sama kegiatan Pramuka dan handphone-nya saya tinggal di asrama, karena peraturan sekolah yang melarang membawa handphone ke sekolah. Semenjak saat itu saya nggak pernah mau lagi angkat telpon dari strangers atau unknown number dan orang lain yang saya tidak terlalu dekat.

Dulu waktu pertama kali pesan Grab, saya ngomongnya belibet banget, sampai-sampai driver-nya “Hah heh hoh” mulu, karena saya nggak jelas ngomongnya apaan saking belibetnya. Saya juga  sampai harus took a depth breath dulu baru bisa lumayan rileks dan menjelaskan lokasi saya dimana. Kemudian di momen selanjutnya jika ingin pesan Grab ke Bandara saya suruh Butet, Lily atau siapapun yang ada di sekitar saya, saking nggak nyamannya di telpon balik sama driver-nya.

Sejauh ini jika ada nomor asing yang masuk selalu saya abaikan dan jika kebetulan ada Tari bersama saya, maka dia adalah penyelamat saya, yang dengan suka rela mau menerima panggilan itu. Mungkin ada yang bertanya kenapa sih sampai segitunya? Maka, saya tidak bisa menjelaskannya, tapi believe or not ketika mendengar hape saya berdering, saya bisa lansung panik dan gemetaran, apalagi di situasi saya lagi sendiri, kalau ada para teman di sekitar, kepanikan saya masih bisa dikontrol. Karena masih bisa nanya kayak " Nomor baru nih, angkat nggak yah?" Dan biasanya respon mereka " Aeelaa sini gue angkat". 

Hal yang sama juga ketika hape saya dibuat nada getar, masih panik dan takut, tapi tidak separah waktu mendengar nada dering. Makanya, saya sangaaaat nyaman ketika hape saya itu berada di silent mode dan kakak saya adalah orang yang paling cerewet menyuruh saya mengaktifkan nada dering, omelan paling khas dia itu kayak gini: 

“Jual aja deh, hape lu jual. Ngapain pake hape tapi ketika orang nelpon nggak pernah diangkat”

Haha. Saya cuma bisa senyum saja atau kadang-kadang jengkel juga, sih. Masalahnya cuma beberapa kali kak, telpon lu nggak gue angkat, lebay bener heyy!

Oh ya, saya juga sempat iseng googling tentang ada nggak sih artis yang juga takut ditelpon kayak saya, dan ternyata ada gais. Ini pertanda bahwa saya tidak aneh, masih banyak kok orang di luar sana yang mengalami hal serupa. Sebagai mantan K-Popers garis yang lumayan keras, Key Shiney adalah salah satu idola saya dulunya dan ternyata doi juga nggak nyaman mendapat panggilan via telpon, sama kayak saya dia panik dan tangannya juga gemetaran. See, kami memang jodoh deh kayaknya (ngehalu mode on).

Oke kayaknya segini aja deh cerita nggak penting ini, kalau kamu juga mengalami ketakukan akan sesuatu yang menurut kamu absurd gais, it’s fine. Karena tanpa kita sadari di luar sana juga banyak kok orang lain yang mengalami hal serupa dengan kita. Ceritakan saja, karena kata Banda Neira nih ya, ketika berbicara juga sesulit diam, utarakan, utarakan, utarakan. Lhaa, nggak nyambung ya? Haha, ya, sudahlah. See ya!

ps. Pic from pinterest

Share
Tweet
Pin
Share
10 comments
Newer Posts
Older Posts

Blog Archive

  • ►  2025 (5)
    • ►  January 2025 (5)
  • ►  2024 (9)
    • ►  November 2024 (3)
    • ►  January 2024 (6)
  • ►  2023 (13)
    • ►  September 2023 (5)
    • ►  August 2023 (2)
    • ►  July 2023 (2)
    • ►  March 2023 (2)
    • ►  January 2023 (2)
  • ►  2022 (7)
    • ►  December 2022 (4)
    • ►  June 2022 (1)
    • ►  April 2022 (1)
    • ►  March 2022 (1)
  • ►  2021 (10)
    • ►  December 2021 (2)
    • ►  November 2021 (2)
    • ►  October 2021 (2)
    • ►  September 2021 (1)
    • ►  August 2021 (1)
    • ►  July 2021 (1)
    • ►  April 2021 (1)
  • ▼  2020 (32)
    • ►  December 2020 (3)
    • ►  November 2020 (7)
    • ►  October 2020 (4)
    • ►  September 2020 (9)
    • ▼  August 2020 (7)
      • I Love You, Now Die: Berkaca Dari Kasusnya Michell...
      • If You Could Go Back and Sorry
      • Tragedi di Balik Tradisi
      • Perempuan dan Kemerdekaan
      • Memfiksikan Fakta: Dan Brown ‒Origin
      • A LITTLE STORY THAT WE CALLED LILIK
      • Phone Anxiety: Afraid of Making or Receiving a Call
    • ►  July 2020 (1)
    • ►  June 2020 (1)

Created with by ThemeXpose

Edited with by A Dreamer