![]() |
Pic from Pinterest |
Postingan kali ini terinspirasi dari film dokumenter yang ditayangkan oleh HBO pada awal tahun 2019 lalu. Film dokumenter yang berjudul "I love you, Now die: The commonwealth V. Michelle Carter" ini, adalah bukti nyata lainnya dari kata-kata dapat membunuh seseorang. Secara keseluruhan film ini bercerita tentang bagaimana sosok Michelle meyakinkan sang pacar agar memantapkan hatinya untuk membunuh dirinya sendiri.
Jika biasanya seseorang akan mengakhiri hidupnya karena lelah menerima hate speech dari orang lain, seperti yang dialami Sully dan banyak artis lainnya. Maka, berbeda dengan Conrad, dia mengakhiri hidupnya setelah berulang kali diyakinkan oleh kekasihnya sendiri. Michelle mengaku sangat mencintai Conrad dan ia ingin sang pacar bisa berbahagia di surga, “Heaven needs a hero” tulisnya, untuk membujuk Conrad.
Meski pada akhirnya diketahui bahwa Conrad memang mempunyai mental illness, yaitu depresi akut yang menyebabkan ia selalu berpikiran untuk mengakhiri hidupnya dan beberapa kali sempat melakukan percobaan bunuh diri. Namun, yang menjadi permasalahan bagi keluarga Conrad adalah, bahwa setiap Conrad ragu menjalankan aksinya, Michelle selalu datang untuk membujuk dan meyakinkan Conrad bahwa jalan yang dipilihnya sudah benar.
Kejadian ini mengingatkan saya tentang Educational Psychology yang dulu pernah saya pelajari, sewaktu di kampus. Salah satunya adalah seberapa parah kata-kata bisa mempengaruhi psikologi seseorang. Sejatinya kata-kata bisa mempengaruhi seseorang dalam bertindak, jurus seperti inilah yang banyak digunakan oleh para motivator untuk membujuk dan mempengaruhi pemikiran para audience-nya. Jangankan motivator perkataan orang-orang terdekat kita, seperti para sahabat saja bisa mempengaruhi tindakan kita, apa lagi perkataan tetangga, euh, tahu sendiri kan gimana? haha.
Dalam mendidik seorang anak pun kita selalu diajarkan untuk bertutur kata lembut dan disarankan untuk menghindari menggunakan kata “Jangan” ketika melarang si bocil. Sulit memang. Saya pribadi berpendapat, bahwa ada banyak hal yang bisa kita pelajari sebagai young adult dari film ini, apalagi bagi pasangan yang memutuskan untuk punya anak, seperti bagaimana cara membangun komunikasi dan kenyamanan seorang anak untuk bisa bersifat terbuka. Kenyamanan yang kita bangun bagaimana kelak si anak juga bisa bercerita apa saja pada kita layaknya seorang sahabat. Haduuh, sok expert banget sih gue.
Di sini Conrad diceritakan sangat depresi dengan keadaan rumah tangga kedua orangtuanya. Disebuah video singkat yang ditemukan oleh polisi dalam laptopnya, Conrad bercerita bahwa dia begitu mencemaskan masa depannya dan tak jarang menganggap dirinya useless. Meski diceritakan bahwa Conrad sangat pintar dan berprestasi, namun hal itu tidak membuatnya cukup percaya diri, bahkan dia juga mendapat beasiswa untuk melanjutkan studinya ke jenjang kuliah. Kurang berprestasi apa coba, si Conrad.
Dia juga bercerita bahwa ada banyak banget suara di kepalanya yang menyuruhnya untuk mengakhiri hidupnya. Sebenarnya saya paham sih kenapa Conrad merasa tidak confident dengan dirinya sendiri, karena saya dulu juga begitu, bahkan saya sempat gap year dulu baru kemudian akhirnya lanjut kuliah, karena perceraian kedua orangtua saya membuat saya malu menghadapi dunia. Kalau dipikirkan lagi sekarang, tindakan saya saat itu terdengar berlebihan memang, tapi balik lagi I was a teenager, saya hanya tidak tahu bagaimana bersikap.
Selain menemukan video curhatan Conrad, polisi juga menemukan sebuah catatan bagaimana tidak sehatnya hubungan Conrad dengan ayahnya. Dicatatan itu dituliskan bahwa, sang ayah pernah memukulinya habis-habisan hanya karena masalah sepele.
"Told Dad I would put pan of mac and cheese away after commercial of baseball game. He said do it now. I said no I will do it after commercial. He punched me repeatedly and pinned me down. I couldn’t get up. 5-10 punches to face. His girlfriend said I was a piece of shit. I left and went to neighbor".
See? Segitunya bapaknya mukulin dia cuman gara-gara wajan macaroni, kalau saya pribadi bilangnya bapaknya ini perlu dirukyah deh, brainless bener, sumpah. Di sini saya berpendapat bahwa banyak banget pasangan yang sudah menikah nggak melakukan konseling dulu sebelum punya anak, terdengar sotoy memang.
Nggak tahu kenapa saya mikirnya ini tuh penting banget mengetahui mental kita gimana sebelum memutuskan untuk punya anak, apakah kita beneran siap kekurangan waktu dan mengorbankan banyak hal. Saya salut banget sih sama orang-orang di luar sana yang bener-bener memahami bahwa mempunyai anak bukan hanya sekedar pengin punya anak aja, sekedar menghindari omongan orang aja, ada tanggung jawab yang besar banget di sana. Dan ketika punya anak pun, memang karena mereka sudah siap.
Hal ini mengingatkan saya tentang video singkat yang pernah saya tonton di sosmed, bahwa ada seorang bocah yang nanya sama mamanya, “Ma, hal besar apa yang mama korbankan ketika memutuskan untuk melahirkanku? Dan apakah mama menyesalinya?”
Nggak enak banget pasti rasanya jika ditanyai hal ini, jika kita benar-benar belum siap secara fisik dan mental. Oke, maafkan kayaknya saya memang sudah terlalu sotoy deh. Baiklah mari kita balik lagi ke Conrad.
Setelah penayangan film ini, banyak sekali argumen netizen yang memojokan Michelle. Menyebutnya sebagai monster mengerikanlah, nggak punya hatilah, ya, seperti biasa bahwa jika berhadapan sama kesalahan orang, kita mendadak menjadi manusia paling suci dan merasa paling berhak menghakimi. Mereka beranggapan bahwa ini sepenuhnya kesalahan Michelle.
While, saya sendiri beranggapan bahwa orangtua Conrad juga berperan dalam kasus ini, di film bagian kedua Conrad sempat curhat kepada Michelle bahwa ibunya sudah melihat laptopnya yang berisi berbagai metode bunuh diri yang painless, yang sudah dipersiapkan Conrad untuk mendukung rencananya. Namun anehnya, sang ibu diam aja dan nggak respon apa-apa, padahal Conrad sendiri melihat ibunya sempat membaca artikel-artikel tersebut.
Belakangan juga diketahui bahwa Michelle juga mengidap depresi, pengacaranya sempat membela Michelle dengan dalih, bahwa Michelle dalam pengaruh obat dan halusinasi. Saya tidak mendukung tindakan Michelle yang menyemangati pacarnya untuk bunuh diri berulang kali, karena saya paham dengan jiwa labil anak enam belas tahun (sok-soan banget sih woy, haha) ditambah lagi hidup di Amerika kayaknya extreme banget deh. Soalnya saya pernah nonton video youtube Radit di mana Boy William pernah cerita tentang susahnya jadi anak SMA di USA. Diperkuat sama curhatan influencer favorit saya Subhi Taha asal Texas, bagaimana dia menceritakan susahnya buat punya teman di Senior High School.
Saya tidak membenarkan tindakan Michelle di sini, karena setahu saya, membujuk orang lain untuk bunuh diri, bukanlah sebuah akhlak yang terpuji. Namun, peran orangtua Conrad juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Ya, memang sebagai orang tua kadang mereka tidak bisa sepenuhnya mengontrol dengan siapa saja anaknya bergaul diluar sana, cuman karena kurangnya chemistry antara Conrad dan orangtanya yang menyebabkan dia tidak terbuka.
Bahkan, saya sempat aneh melihat reaksi Lyn ibunya Conrad ketika berhasil membaca koleksi artikel anaknya yang berhubungan dengan suicide, hingga akhirnya Conrad benar-benar menerapkan hal itu saat bunuh diri, di mana dia menghirup karbon monoksida diruangan tertutup. Seharusnya sih, ibu Conrad aware, apalagi si anak sempat beberapa kali dirawat dirumah sakit karena gagal dalam melakukan bunuh diri. Tapi balik lagi, itu hanya pandangan pribadi saya saja, karena bagaimanapun saya tidak bisa judge karena tidak tahu persisnya seperti apa.
Kesalahan fatal Michelle yang tidak bisa dimaafkan di sini adalah ketika dia menyuruh sang pacar kembali masuk kedalam mobil terkunci yang penuh gas karbon monoksida, di mana saat itu Conrad sempat takut dan ingin mengagalkan aksi bunuh dirinya.
Kemudian masalah penayangan film ini, rasanya HBO kurang tepat, karena bagaimanapun masa depan Michelle masih panjang dia masih muda. Penayangan film dokumenter tentang dirinya saya rasa akan semakin membunuh kepercayaan dirinya, apalagi dia mengalami kesulitan dalam mencari teman. Sampai film documenter ini rilis pun pihak Michelle tetap menolak untuk terlibat. Entahlah, namanya juga dunia hiburan, saya tidak paham bagaimana aturan mainnya.
Banyak banget sih yang saya pelajari dari kasus ini, terlepas dari apapun maksud HBO dari merilis film ini, semoga para penonton bisa mengambil sisi positive-nya saja tanpa menghakimi Michelle, karena jujur saya kasihan juga sama dia, ya walaupun dia juga salah. Tidak ada pembenaran dari tindakan menghilangkan nyawa orang lain. Baiklah kayaknya segini aja deh, bagi udah nonton film ini, let me know what you think about it, guys. See ya!