Talking About Teen: Middle School Drama
![]() |
Pict from Pinterest |
Ngomongin soal sekolah menengah, kebetulan rumah saya dekat sama Madrasah Tsanawiyah jadi tiap hari ada muridnya yang nongkrong di warung sekedar beli minuman seribuan atau nungguin bus untuk pulang ke rumah. Kalau lagi ngobrol suara mereka memang gede gitu jadi, saya bisa dengar apa yang lagi mereka obrolin.
Suatu waktu mereka pernah ngomongin soal brand handphone, dan bagian paling ngakak itu adalah ketika ada salah satu temen mereka yang sotoy bilang Samsung adalah asli buatan Indonesia wkwk.
Rasanya lucu aja, saya yakin saya pasti pernah jadi orang sotoy itu, meski saya nggak ingat, tapi saya yakin pernah ngelakuin hal itu. Selain hal sotoy, kayaknya anak SMP juga nggak luput dari drama soal cinta dan juara kelas. Barusan banget adek-adek di dekat rumah saya curhat kalau dia dipanggil guru BP gara-gara ngeledekin temennya yang jenong. Namanya Afifah, dan saya biasa memanggilnya Ipah.
Lucu aja dengerin cerita Ipah. Dia ngerasa gurunya nggak adil karena meskipun berusaha di damaikan, Ipah ngerasa gurunya pilih kasih dan berusaha menyudutkan dia wkwk. Menurut saya sendiri Ipah anaknya ceria dan kritis, punya pemikiran yang kritis dan sekolah di kabupaten saya rasa masih jadi kendala. Meskipun bertahun-tahun berlalu saya perhatikan guru-guru di kabupaten masih anti kritik dan haus hormat. Singkatnya mereka masih konservatif meskipun mereka guru yang tergolong muda, apalagi kami tinggal di desa.
Cerita versi Ipah temennya ini berubah semenjak nilai Ipah lebih tinggi dari dia, dan sewaktu kenaikan kelas Ipah juara umum. Juara umum ini semacam nilainya tertinggi di satu angkatan gitu. Sepanjang Ipah cerita saya cuma cengengesan aja wkwkwk, sebagai perempuan dewasa akhir 20an saya ngerasa nggak relate lagi dengan kehidupan pertengkaran remaja perkara nilai 😂, namun di sisi yang lain ini seru dan membuat saya penasaran. Saya penasaran sewaktu sekolah dulu saya pernah nggak ya cekcok gara-gara nilai.
Mungkin pernah kali ya tapi saya nggak ingat, atau beneran nggak pernah wkwk. Hal yang paling membekas bagi saya sewaktu middle school adalah ketika dituduh caper ke guru gara-gara beli kitab Fiqih ke kantor guru. Jadi dulu itu kalau ada guru yang absent (gurunya udah izin ke sekolah cuma kadang guru yang piket lupa jadwalin guru pengganti) kami sebagai murid wajib konfirmasi biar nanti dikirim guru pengganti.
Saat moment itu temen-temen pada males pengen main aja, jadi pintu kelas ditutup kami main dalam kelas. Saat itu saya dan temen deket saya pergi ke kantor koperasi beli kitab Fiqih, kantor koperasi ini sebelahan sama kantor guru, dan sewaktu teman saya tau kalau saya dari gedung kantor guru, saya lansung dicerca aja sama kata-kata nggak enak. Dan pelakunya cowok lagi wkwkwk, anjirlah. Rasanya nggak enak aja dituduh-tuduh caper begitu.
Tapi kalau diingat lagi kebelakang Tuhan beneran ngasih ujian sesuai kemampuan hamba-Nya, buktinya years a head masalah yang kita anggap berat dulu ternyata bukan apa-apa setelah kita lalui wkwk.
Terakhir saya mau bilang kalau saya lagi suka baca buku puisi, lagi mau baca buku yang genre-nya ringan aja. Tadi saya baru nyelesain buku puisinya Aan Mansyur dengan judul Perjalanan Lain Menuju Bulan. Saya akan tulis salah satu puisi yang saya suka sebagai penutup. Here we go:
1.
Dari pagi hingga malam hingga pagi hingga malam lagi--sudah kutempuh perjalanan itu ribuan kali. Tetapi, tetap aku tidak tahu apa yang hendak terjadi besok pagi.
Kujalani hari ini sebagai hari pertama selepas hari terakhirku. Kuhadapi besok sebagai hari baru yang barangkali sama belaka.
2.
Kau mati dan menjadi neraka di pikiranku. Menghangatkan aku pada malam-malam ketika aku sendiri dan musim begitu kejam-- dan melalapku ketika bibirku melafalkan nama lain. Sepasang mata anjing itu menginginkan perih yang berbeda dari jiwaku.
3.
Sungai kering. Ranting-ranting pohon kering. Aku berbaring di atas batu melihat betapa lembut awan-awan yang melintas. Dan, kekasih, kematian datang padamu tiba-tiba hendak mengusirku dari hutan ini. Tidak. Kepergianmu memintaku pulang ke rumah dan rahim yang setengah mati hendak aku singkirkan dari ingatan. Tidak.
Pulanglah! Pulanglah! Pulanglah!
Kudengar jiwamu menyeru dari dalam diriku. Aku merasa sedang bercinta dengan seseorang yang aku benci. Mengapa hidup tak membiarkan aku memilih, bahkan satu penderitaan yang pantas bagiku?
0 comments