Mengabadikan Kenangan Lewat Buku Harian
Ngomongin buku harian alias diari, ada yang suka nulis diari nggak sih? Well, kalau saya sendiri sudah menulis diari dari kelas tiga SD. Tidak tahu kenapa saya suka saja menuangkan perasaan saya ke dalam sebuah catatan, karena memang saya tidak terlalu suka berbagi cerita dengan orang lain, bahkan selama menengah atas saya tidak pernah berani curhat dengan teman baik, semuanya saya tumpahkan ke dalam lembaran-lembaran kertas sampai perasaan saya plong, hingga kemudian buku itu saya tutup, dan voilaa nggak bakal ada yang tahu kecuali saya dan Tuhan, beda cerita kalau diari saya kececer.
Sayangnya, diari-diari lama saya tidak bisa diselamatkan lagi alias nggak tahu rimbanya di mana, yang tersisa hanya tiga (satu catatan pas menengah atas dan dua lagi saat kuliah). Tadi siang, saking gabutnya saya iseng baca ulang diari saya pas sekolah dan hasilnya, saya persis seperti orang gila. Tertawa terbahak-bahak di lembar pertama dan kedua, kemudian menjadi hening dan menangis sedih di lembaran berikutnya. Ternyata saya se-random itu.
Banyak hal yang bahkan saya saja sudah lupa pernah mengalaminya saya tulis di sana. Enggak tahu kenapa, rasanya ajaib sekali, it makes me had that ‘Oh iya ini pas yang itu’ atau ‘Ya ampun gue malu-maluin banget sih’ dan ‘Ternyata gue pernah gitu ya’ rasanya nano-nano. Seolah-olah saya mengulang lagi kenangan itu dan seolah-olah itu adalah pesan tidak lansung dari diri saya yang dulu ‘Eh Sovia! Kamu dulunya gini lho, sekarang udah gimana?’.
Membaca ulang diari masa sekolah membuat saya menyadari satu hal. Betapa recehnya masalah yang dulu saya keluh kesahkan, bahkan saya sempat tertawa, ternyata hal ini dulu bisa membuat saya stress dan saya juga menyadari bahwa betapa waktu sudah mengubah saya menjadi sosok yang seperti sekarang ini, jaauuh banget dari pribadi saya yang dulu. Dan saya bersyukur telah menulis itu semua.
Masa sekolah adalah masa-masa keemasan saya menjadi K-Popers, saya juga masih ingat dulu saya sampai belajar Hangeul sama sahabat saya biar bisa baca-baca tulisan Korea, even nggak ngerti artinya apaan. Pokoknya kalau sudah bisa baca artikel Korea itu berasa sudah dapat Jackpot. Jadi, saya rasa wajar saja saya selabil itu haha (pembelaan). Pertanyaan saya, kalau baca diari menengah atas saja sudah sengakak itu, apa kabar diari saya pas esempe ya? Mungkin saya akan pura-pura amnesia, saking malunya kalau yang nulis itu adalah saya.
Berbeda dengan dengan masa menengah atas, diari saya sewaktu kuliah malah banyak berisi tentang ambisi-ambisi, tidak ada cerita menye-menye tentang suka sama lawan jenis. Hanya berisi kegalauan saya dalam memutuskan sesuatu, atau kegalauan karena kehilangan sesuatu. Ternyata sejauh itu bedanya. Ternyata seiring berjalannya waktu, masa kuliah adalah masa di mana saya mulai minderan, takut tidak bisa, tidak percaya diri, dan banyak lainnya. Sehingga, selain berisi tentang ambisi, catatan kuliah saya juga berisi tentang menghargai diri sendiri and telling my self to stop underestimating. Rasanya nggak nyangka aja saya bisa melewati itu semua.
Kalau di pikir-pikir lagi, tidak hanya menulis diari, saya juga suka menulis surat untuk diri sendiri di masa depan. Surat pertama yang saya tulis untuk diri saya lagi-lagi sewaktu SD. Saya lupa kelas berapa, yang pasti saya menulis surat untuk diri saya sendiri dan nenek yang kemudian saya masukan kedalam kotak dan saya kubur di ladang kacang padi milik nenek, sialnya saya lupa menggalinya.
Sampai sekarang pun saya masih suka menulis surat untuk diri sendiri, karena saya suka penasaran ‘Di umur segini gue jadi apa ya?’ atau ‘Di umur segini gue udah ketemu siapa aja’. Saya suka penasaran sama siapa saja yang saya temui di masa depan dan dalam surat itu saya tanyai semuanya sampai masalah terberat apa yang pernah saya lalui ketika surat itu sampai.
Oh ya, saya menulis surat itu di sebuah web yang bernama ‘Dear Futureme’ mungkin sebagian dari kamu sudah ada yang tahu gais. Surat pertama saya sudah saya terima lewat surel dua tahun yang lalu, dan isinya bikin saya cekikikan sendiri saking absurd-nya pertanyaan yang saya lontarkan ke diri sendiri. Saya juga masih punya dua surat lagi yang akan saya terima di masa depan dan saya benar-benar lupa apa yang saya tulis di sana, karena itu saya tulis tiga tahun yang lalu dan nggak tahu juga sampainya di tahun berapa.
Selain menulis surat masa depan untuk diri sendiri, saya juga suka menulisnya untuk sahabat saya. Seperti surat kelulusan yang saya tulis untuk Butet (Everyone call her Nombur, but I refused to be ‘everyone’), bahkan jauuuh sebelum dia skripsian, saya saja lupa menulis surat itu di semester berapa dan juga lupa isinya apaan. Tapi yang pasti itu adalah surat kelulusan. Saya juga nulis begituan untuk Tari, tapi sudah hilang dan gagal dikasih pas dia wisudaan. Saya lupa nyelipinnya di mana. Haha. Sorry Tar.
Mungkin bagi kebanyakan orang menulis diari di era digital ini sudah basi banget, tapi tidak bagi saya, beda saja sensasinya ketika curhat di laptop dengan diketik dan curhat di lembaran kertas dengan ditulis, tapi apapun itu, I hope you guys mau menulis apa saja tentang diri kamu, cause it’s so unique, hilarious, and etc ketika dibaca ulang di kemudian hari, karena saya pikir dengan menuliskannya kita membuat kenangan itu tetap ada.
Oke sekian dulu deh cerita yang nggak penting-penting amat ini. Well gais, see ya!
16 comments